Kamis, 28 Juni 2007

Aku dan Ayah Tiriku

Kalau kini kuungkapkan kisah kehidupan asmaraku, itu berarti aku sudah tidak mampu lagi menyimpan rahasia ini seorang diri. Aku tahu, aku telah bermain api dengan berselingkuh dengan ayah tiriku. tetapi aku benar-benar telah tenggelam di dalam pesona permainan seks ayah tiriku.

Semuanya berawal ketika aku kehilangan ayah kandungku pada usia 18 tahun. Ketika itu, roda ekonomi keluarga kami tidak terlalu terguncang, karena Ibu pandai mencari uang. Semasa ayah masih hidup, Ibu sudah menopang ekonomi keluarga dengan bisnis kateringnya. Oleh karena itu, sepeninggal Ayah,Ibu tidak berpikiran untuk mencari penggantinya, lantaran terlalu sibuk mengurusku dan kedua adik laki-lakiku.

Dua tahun berselang setelah kematian Ayah, tiba-tiba kami dikejutkan dengan perkataan Ibu yang mohon restu untuk menikah kembali dengan Pak Juwono(45). Kami memang sudah mengenalnya dengan baik, karena dia sering bertandang kerumah kami. Namun, kami berpikir Pak Juwono hanyalah teman baik Ibu. Sebab Pak Juwono bertamu ke rumah kami seperti halnya tamu-tamu yang lain. Lebih-lebih Ibu juga bersikap biasa-biasa saja. Ibu tidak menunjukkan dalam kondisi tengah jatuh cinta.

Kami semua merestui keinginan Ibu untuk menikah lagi. Pertama, karena usia Ibu masih tergolong muda, 38 tahun, untuk mengarungi hidup ini sendirian. Kedua, karena kami tahu bahwa Pak Juwono berstatus duda tanpa anak. Pak Juwono adalah pria yang matang, penyayang,dan bertanggung jawab. Aku dan kedua adikku sudah cukup dekat dengannya.

Masuknya Pak Juwono sebagai anggota baru keluarga kami memang membawa warna-warna lain dalam kehidupan keluarga kami. Aku pribadi sangat senang dengan adanya figur seorang ayah pengganti. Terus terang, sebagai anak perempuan satu-satunya aku haus akan perhatian dan kasih sayang seorang ayah. Apalagi di usia 20 tahunan aku ingin ada yang menuntunku dalam urusan cinta dan berhubungan dengan pria. Aku harap bisa menimba pengalaman dari ayah tiriku ini.

Kedekatanku dengan ayah tiriku membuat Ibu bangga. Beliau senang melihat kami semua akrab dengan suami barunya. Bahkan, boleh dikatakan aku bersikap agak manja kepadanya. Setiap pulang sekolah, aku pasti segera mencari ayah tiriku untuk menceritakan pengalamanku di kampus. Beliau akan dengan sabar mendengar ceritaku, kemudian dengan bijak menasihatiku bila ada hal-hal yang dianggapnya tidak 'sesuai'.

Kadang-kadang atas ijin Ibu, aku mengajak ayah tiriku berjalan-jalan ke mall. Setelah mencicipi hidangan fast food kami mampir untuk nongkrong di toko buku. Aku mempunyai hobi membaca buku filsafat dan psikologi, sama seperti beliau.

Tanpa kusadari aku semakin dekat dan semakin akrab kepada ayah tiriku, aku sudah semakin cuek aja dan tidak malu lagi semisalnya keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk mandi sebagai penutup bagian-bagian tubuhku yang vital dihadapan ayahku. Dan kadangkala ayahku pula yang menggendongku ke tempat tidurku apabila aku kedapatan ketiduran di ruang tamu karena ketiduran akibat mataku yang kelelahan karena membaca buku ataupun menonton telivisi.

Lama-kelamaan aku semakin mengagumi sifat-sifat kedewasaan yang dimiliki oleh ayah tiriku, dan ada rasa perasaan khusus tertentu yang tidak bisa kuterjemahkan, entahlah apakah itu adalah perasaan cinta Mungkin itulah alasannya aku selalu menampik setiap pernyataan cinta yang dilontarkan oleh teman-teman priaku. Terus terang aku tidak tertarik dengan teman-teman pria sebayaku yang cenderung manja dan kekanak-kanakan. Sebaliknya aku mengagumi pria-pria yang dewasa dan matang. Rasanya aku betah berada disisi mereka untuk mendengar cerita ataupun nasehat-nasehatnya, dan itu semuanya kudapatkan penuh dari ayah tiriku ini.

Rupanya gejala ini juga dirasakan dan ditangkap oleh ayah tiriku. Kalau sebelum pergi ke suatu tempat, aku biasa mencium pipi Ibu dan Ayah tiriku. Sekarang bila ibu tidak ada, Ayah akan membalas mencium pipiku. Semula aku merasa kaget dan ada sedikit perasaan malu, bukan kenapa-kenapa ini adalah ciuman pertama dari seorang laki-laki kepadaku dan sekaligus adalah ayahku. Bahkan pernah suatu waktu aku terperangah ketika ayah tidak hanya membalas mencium pipiku, melainkan juga bibirku. Melihat wajahku memerah, karena aku belum pernah pacaran, Ayah hanya tersenyum simpul.

Kejadian seperti itu terus berulang ketika ibuku ada di dapur dan kebetulan aku berpamitan mau ke kampus. Dan akupun mulai terbiasa dengan 'pamitan' gaya baru dari ayah tiriku. Semakin lama kami berani melakukannya lebih lama, kami pernah melakukannya selama beberapa menit dengan panasnya. Kalau tidak mengingat Ibu yang ada di dapur yang sewaktu-waktu bisa memergoki mungkin ayahku tidak akan melepaskanku dari pagutannya.

Beberapa waktu berselang, suatu saat Ibu harus menjenguk salah satu keponakannya yang dirawat di rumah sakit di Bogor. Kebetulan kedua adikku telah memasuki masa liburan sekolah dan keduanya mengantar dan menemani ibu selama di Bogor. Alhasil hanya aku dan Ayah tiriku yang ada di rumah sekarang ini. Menyadari tidak ada orang lain , sebenarnya hatiku berdegup kencang menyadari saat-saat yang tidak terduga tinggal berdua saja dengan Ayah tiriku yang amat kukagumi.

Ketika aku pulang kuliah menjelang sore hari, beliau sudah menungguku di teras rumah dan terlihat kegembirannya yang terbias dimatanya ketika menyambut kepulanganku.
Pulangnya kog malam, Non tanya ayah dengan senyum khasnya.
Aku menjawab dengan santai, Tadi jalan-jalan dengan teman Yah. Senyumnya mendadak agak hilang ketika keceritakan aku berjalan-jalan dengan teman-teman cowok kampusku. Aku tertawa dalam hati melihat sikap ayah tiriku yang terlihat sedikit menyimpan rasa cemburu.

Sehabis mandi seperti biasanya aku tetap hanya menggunakan handuk melalui ayah menuju ke arah kamarku.
Nia, apakah cowok yang menemani kamu adalah pacar kamu, selidik ayah tiriku.
Sebentar ayah, Nia mau berpakaian dulu, dan nanti akan Nia ceritakan seluruhnya ke Ayah, jawabku sambil tetap menuju ke arah kamarku, sepintas kulihat ayahku seperti berdiri dari sofa tempat duduknya. Aku menutup pintu kamar dan mulai mengeringkan rambutku dengan menggunakan kipas angin yang kunyalakan.

Tiba-tiba aku mendengar suara derit pintu kamarku terbuka dan kulihat ayah tiriku berjalan masuk menghampiriku. Karena aku masih terbalut dengan handuk aku cuek saja menerima kehadiran ayah tiriku meskipun sesungguhnya hatiku terasa dag dig dug.
Aduhh.., ayah nih kog penasaran amat sih, dibilang entar juga pasti diceritain, kataku menggoda sembari tetap mengeringkan rambutku yang masih agak basah.
Nia, kamu serius yah berpacaran dengan cowo yang tadi itu, masih dengan penasaran ayahku terus menanyaiku.
Hmm..., Kalo ya kenapa..., kalo tidak juga kenapa tanyaku memancing perasaan ayah tiriku.
Kamu bandel yahh..., udah main rahasia-rahasiaan ucapnya seraya tiba-tiba tangannya menggelitik pinggulku.

Aku tergelitik kegelian sambil meronta-ronta kecil untuk melepaskan dari gelitikan tanggannya. Ayahku tetap menguber-uberku sambil tetap menggelitik seluruh tubuhku, sampai akhirnya kita berdua jatuh ke ranjang dan ayah tetap saja menggelitik seluruh badanku. Sampai akhirnya kita berdua cekakak cekikikan dan akihirnya aku berteriak-teriak kecil minta ampun supaya Ayah menghentikan gelitikannya. Begitu ayah menghentikan gelitikannya tubuhku terasa lemas dan kami berdua ngos-ngosan akibat kehabisan nafas. Ayah tiduran disampingku di atas ranjang sambil tetap memperhatikan wajahku yang masih bersimbah peluh. Aku mencoba menarik napas panjang sambil memejamkan mata untuk menghilangkan rasa lemas yang kurasakan.

Tiba-tiba aku merasakan ciuman lembut menempel di bibirku, namun aku merasakan pagutan ciuman kali ini lebih terasa dan lebih rileks, mungkin karena Ibu tidak ada di rumah. Akupun membiarkan bibirku dilumat dengan lembut, baru kali ini ciumannya membuatku terasa terbang diawang-awang. Tanpa disadari tangan ayah yang tadi mengelus lembut pinggulku..., telah melepas handuk penutup tubuhku. Akupun baru sadar bahwa aku telah tidak berpakaian. Sebelum aku sempat berpikir banyak, ayahku sudah memelukku kembali dengan eratnya seraya mengelus-elus rambutku yang panjang. Terus terang aku sangat terlena dengan sentuhan kasih sayangnya ini.

Ketika ia mengangkat wajahku, aku menundukkan wajahku yang bersemu merah. Aku bisa mendengar suara detak jantung ayah yang berdegup kencang saat matanya menyapu dengan bersih seluruh lekuk-lekuk tubuhku yang sudah tidak terlindung apapun. Ayah mengelus bibirku dan tiba-tiba memagutnya kembali dengan penuh nafsu. Aku hanya bisa pasrah dibawah kenikmatan yang baru kurasakan ini. Bahkan aku mulai berani membalas pagutannya. Ayah kemudian menyeretku kedalam pangkuannya di atas ranjang. Kami terus berciuman, hingga tangannya mulai bergerak mengelus ke daerah-daerah tubuhku yang paling sensitif.

Aku menjerit kecil ketika kurasakan tangannya yang nakal menyentuh dan meremas-remas dengan lembut payudaraku. Sambil melumat bibirku, ayahku secara perlahan-perlahan berusaha melepaskan seluruh pakaiannya. Aku menjerit kecil tertahan tatkala penis ayahku keluar dari celana dalamnya dan dalam keadaan sangat panjang dan 'tegak', baru kali ini aku menyaksikan secara dekat penis seorang lelaki, bentuknya panjang mengeras dan dibagian ujung kepala penis ayah membesar dan berkilat-kilat bagai jamur. Belum sempat logikaku berjalan,ayah sudah kembali memeluk dan mencumbuku kembali, kini kami sama-sama bergumul dengan panasnya tanpa sehelai benangpun menempel di tubuh kami.

Mataku terpejam rapat sambil berteriak tertahan saat ayah tiriku mencumbui organ kewanitaanku. Ada rasa nikmat luar biasa yang kurasakan, hingga setiap beberapa saat badanku menggelinjang-gelinjang tak kuasa menahan hentakan-hentakan kenikmatan yang keluar dari seluruh sendi-sendi tubuhku. Sampai akhirnya aku merasakan benda panjang dan hangat menyeruak memasuki vaginaku. Saat itulah aku mempersembahkan keperawanan, kehormatan, jiwa ragaku kepada ayah tiriku. Kami bersetubuh tanpa mempedulikan waktu, terus berpacu dan berpacu meliwati klimaks demi klimaks hingga hampir menjelang subuh badan kami sama-sama lemas karena merasakan klimaks yang berkali-kali hingga akhirnya kami rubuh dan tidur berpelukan dalam satu ranjang dengan perasaan puas.

Terus terang pengalaman pertamaku berhubungan seks membawa kesan yang luar biasa dalam hidupku. Aku sama sekali tidak merasakan kesakitan karena ayahku tahu persis bagaimana menjalankan permainan seks kami dengan sebaik mungkin. Malam pertama kami, kami lewatkan dengan mengulang permainan seks hingga tiga kali. Ketika tak berdaya lagi, kami baru berhenti. Seminggu ditinggal Ibu dan adik-adik membuat aku dan Ayah benar-benar menikmati petualangan asmara kami.

Selama hampir setahun menjalin asmara diam-diam dengan ayah, Ibu mulai curiga. Apalagi, Ibu mengetahui kalau sampai berusia 21 tahun aku belum juga mau punya pacar. Padahal aku terhitung cantik dan supel. Apalagi ketika aku sudah menamatkan D-ii bahasa inggrisku, Ibu mendesakku untuk mulai mencari pasangan hidup.

Ketika diam-diam kudiskusikan hal ini kepada Ayah, dia sangat mendukungku menjalin hubungan dengan pria lain. Soalnya, Ayah mulai mencium tanda-tanda kecurigaan di mata Ibu melihat hubunganku dengan Ayah semakin lengket aja.

Maka ketika Wahyu,kakak kelasku yang paling gencar mendekatiku. Kupikir apa salahnya aku membina hubungan dengannya. Apalagi wajahnya lumayan ganteng, postur tubuhnya atletis, dan otaknya encer pula. Singkat cerita aku kemudian serius menjalin hubungan dengannya. Sementara itu, kisah cintaku dengan Ayah terus berlanjut. Kali ini kami lebih banyak melakukan persetubuhan kami di luar rumah. Kadang-kadang kami janji bertemu di hotel A atau B yang letaknya agak jauh dari kota tempat tinggalku.

Enam bulan setelah berpacaran dengan Wahyu, keluarganya datang melamarku. Aku menerima lamarannya dengan perasaan biasa-biasa saja. Terus-terang perasaan cintaku telah kepersembahkan seutuhnya kepada ayah tiriku. Aku menikah hanya untuk menutupi perselingkuhanku dengan ayah.

Untungnya, Wahyu adalah orang yang tidak mempersoalkan keperawananku ketika kami melewatkan malam pertama. Menghadapi permainan seks Wahyu yang tergolong pemula, aku merasa tidak puas. Kadang-kadang aku membayangkan sedang berhubungan badan dengan ayah tiriku yang macho dan berpengalaman. Akhirnya, aku tetap sering menelpon ayah untuk saling bertemu di luar rumah. Usianya yang telah berkepala empat telah mengetahui secara betul segala bentuk permainan seks yang dapat memberikan kepuasan klimaks terhadap gadis-gadis muda seusiaku.

Bercinta dengan ayah tiriku, aku mendapatkan klimaks yang berulang-ulang, hal yang tidak dapat kudapatkan apabila aku berhubungan badan dengan suamiku sendiri. Aku tahu perbuatanku adalah keliru. Namun aku tidak dapat menghapus sosok Ayah tiriku dalam kehidupanku. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa menghentikan perselingkuhanku ini. Aku hanyalah seorang wanita yang menginginkan adanya figur pria matang disisiku.

Dari Cyntia anak Tarki

Nama gue Cynthia, gue masih sekolah di SMA Tarakanita I Pulo Raya ... mungkin karena tampang ama body gue sexy jadi kalo gue perhatiin tuh kalo lagi jalan, cowok suka ngelirik ke gue kadang malah ada yang jelas - jelas lagi ngeliatin toket gue . hal itu udah terjadi dari gue umur 14 an deh sekarang gue kelas 2 umur 16 hampir 17 . tinggi gue untuk ukuran cewek agak ketinggian kayaknya gue 171 cm..berat 52 kg .kulit gue putih .
Pertama - tama sih risih juga diliatin ama cowok sampe kayak gitu .tapi lama - lama gue asiik aja .seneng juga kok ngeliatin cowok - cowok yang pada mupheng itu hihihi .apalagi kalo gue lagi lari pagi di senayan gue biasanya pake kaos putih yang ketat .hehe..jadi toket gue keliatan nonjol banget trus ama celana putih yang pendeeek banget biasanya cowok pada langsung ngeliatin tuh ..trus gue kalo istirahat, sengaja gue duduk yang ngangkang gitu .seneng deh gue bikin cowok kerangsang trus suka gue perhatiin abis mereka pada ngeliat gue yang duduk ngangkang gitu .hihihihi .trus biasanya di celana mereka tiba-tiba ada yang nonjol ..ada yang nonjol nya gede ada juga yang keciiil aja .biasanya kalo gede gue senyumin ..biar makin gede .gue biasanya lari-lari pagi di senayan bareng temen-temen gue yang cewek kita ber 5 ..dari kita berlima, kita semua tergolong cantik lho .bahkan gue akuin, ada 2 orang temen gue yang lebih keren dari gue ..
Trus pada suatu hari kita berlima abis lari-lari di senayan punya ide kocak .kita berlima sepakat iseng mau ngintip WC cowok di Istora soalnya diantara kita berlima, baru satu temen gue yang udah pernah liat langsung barang nya cowok itu juga titit adek nya yang nekad diajak mandi bareng . .trus kita berlima udah kayak mission imposible gitu nekad masuk ke wc cowok pas lagi kosong trus kita ngumpet didalem ruangan yang lumayan lega .sambil cekikikan ..trus gak berapa lama .masuk 5 orang cowok nih .abg-abg abis maen roller kayaknya deh .ngeliat dari tampangnya sih kayaknya masih smp kelas 2 an deh..paling baru 14 an .kita udah nahan ketawa trus temen gue nyeletuk pelan " yaah masih anak kecil .gak seruuu pasti titit nya kecil juga .hihihi " gara-gara dia kita berlima hampir gak bisa nahan ketawa .eh tau - tau nya mereka para abg itu buka celana mereka masing-masing .waaa..kita berlima udah melotot temen gue malah udah ada yang merah banget mukanya .trus mereka nge luarin titit mereka masing-masing waaaa..kita yang didalem udah panas dingin .hihihhi ..meskipun anak kecil..ternyata titit nya gede juga yach .ternyata mereka lagi adu panjang -panjangan titit pas mereka buka tititnya masih pada 'bobo' tuh .masih lemes .trus salah satu diantara mereka ngomong " waah gimana ngukurnya nih ada yang bawa foto cewek gak..? kalo gak berdiri kan gak bisa dibandingin " yang lain pada ngangguk2 trus temen gue ada yang gak tahan dia ketawa ngakak waaa mau gak mau kita keluar deh tuh cowok-cowok abg pada kageeet hahaha .trus gue ngomong eh gak usah maluu kok kita kan lebih tua dari elo-elo .tiba-tiba gue inget mereka kan butuh foto cewek biar pada berdiri titit nya .kenapa gak ngeliatin kita aja kan lebih asli .trus gue tawarin aja ke mereka " eh ngeliat kita aja .buat bangunin titit-titit elo pada " trus kita berlima senyum semanis - manisnya hihihihi ..tuh anak- anak cowok pas kita keluar pada langsung nutupin tititnya pake tangan .trus gue bilang" udah buka aja ..ntar kita deh yang jadi juri ." Mereka jawab " gak aach kak maluuu .eh kakak nengok sana bentar deh kita mau pake celana dulu " tanpa mereka sadarin .titit mereka yang tadinya masih pada lemes udah pada ngaceeng abis semua hihhi .kita berlima udah melotot aja panas dingin .tadinya kan pas ditutupin tangan titit mereka yang lemes bisa ketutupan hahahaha tapi pas udah pada ngaceeeng abis udah gak bisa ketutup tuh tititnya .akhirnya setelah kita bujuk-bujuk mereka mau buka tangannya .waaaaaa kita berlima teriak kenceng banget tapi ada satu anak yang mungkin ketakutan ama kita jadi..hihihi..tititnya belom berdiri trus gue tawarin..eh kamu kok belom ngaceeng sih .? Sini kakak bantuin deh .trus gue deketin gue pegang aja tititnya dia langsung merah mukanya tapi..hihihi tititnya langsung ngaceeng di tangan gue .gilaaa jadi gedee banget lho dia .gue nya yang jadi salting gue pikir gak gede-gede bagnet .ternyata meskipun baru pada 14 taonan titit mereka panjang-panjang juga lho .apalagi yang gue pegang tadi .trus akhirnya .kita ukur-ukur sambil kita pegang-pegang donk tentunya..hehehe .ternyata yang paling panjang titit yang gue bangunin tadi ..tuh anak-anak cowok kayaknya udah mulai gak malu-malu ama kita .buktinya salah satu diantara mereka ada yang minta.." eh kakak sekarang kakak-kakak donk yang telanjang ." Temen gue langsung gak mau .sambil ketawa akhirnya kita berembuk dulu .gue bilang ama temen2 gue " kan mereka anak-anak ini ..lagipula udah tanggung..hihihi kita kan belom pernah telanjang di depan cowok " akhitnya kita berlima setuju trus biar seru kita buka pakaian sambil pake gaya nafsuin gitu hahaha..geliii banget deh kayak striptease .sampe akhirnya kita berlima telanjang bulet didepan mereka . Tuh abg-abg udah pada melotot ..trus kita berlima langsung nari-nari erotis di depan mereka .kalo gue inget lagi geliii sendiri gue .cowok yang titit nya tadi gue bangunin ternyata titit nya masih bisa tambah gede lagi ..jujur aja gue jadi nafsu juga ama dia .hihihi .padahal dia masih 13 lho .akhirnya kita berlima cewek-cewek bikin lomba .siapa yang bisa bikin tuh cowok2 abg orgasme duluan ..gue langsung aja milih yang titit nya gue bangunin trus gue tanya" nama elo siapa" dia jawab " Adhi kak " boleh kakak maenin gak titit kamu " mmmh .boleh deh kak.." sambil senyum maluuu gitu..trus iseng aja gue tanya " Adhi udah pernah coli" dia jawab" apaan tuh kak ? " gue langsung nyimpulin berarti nih cowok masih virgin banget .seneng juga gue ngebayangin gue yang bakal kasih orgasme pertama dia ..gue juga udah nafsu banget trus terang ini pertama kali gue liat ama megang titit langsung..biasanya sih cuman nonton film sama .paling-paling menghayall hehehe trus temen gue mulai ngitung..1 2 3 trus kita berlima mulai beraksi .ngerangsang titit cowok-cowok abg itu abis-abisan .gue gak langsung maenin titit nya si Adhi gue emang udah niat gak mau buru-buru gue gak mau ikut lomba..gue pengen nikmatin aja and kasih Adhi kenikmatan yang gak asal-asalan .gue pertama-tama senyum ke dia maniiis banget .dia bales senyum gue malu-malu trus gue cium bibir..dia trus gue jongkok sambil elus-elus lembut tititnya adhi gila gede banget lho ada kali 18 centi .padahal masih 13 taon..gue ngebayangin kalo udah 20 segede apa hihihihi .gue trus mulai cium-ciumin ..si adhi mulai mendesah keenakan .trus gue tanya " enak gak dhi ?" dia jawab " kak enak banget aaahh " gue mulai nafsu banget gue mulai jilat-jilatin titit nya .sementara ternyata temen gue udah ada yang selesai dia teriak girang " guee menang ." Gue gak peduli hihihi asik banget sih jilatin titit nih anak ..sampe temen gue selesai semua si Adhi belom keluar juga tahan lama juga nih anak .hihihi temen gue sekarang pada nganggur ngeliatin gue ama Adhi .." Cyn gue ikutan doonk " kata temen gue "enak aja " kata gue .kayaknya si adhi udah mau orgasme juga .dia reflek jambak rambut gue .trus gue kulum aja tititnya dia .hihihi ..mulut gue gak cukup ..cuman bisa ujung nya .trus si Adhi teriak " aaaahh aaaghh, kak Cynthia enak banget kak aaaahh " abis itu gue lepas dari mulut gue tititnya si adhi gue biarin dia tenang dulu hihihi..jadi gue bisa maen lebih lama trus gue genggam titit dia .sambil gue kocok . Akhirnya dia gak tahan hihihi dia nyemprot ssrrt srrrt srtt .kotor deh tangan gue .
Abis itu kita bersepuluh ..bersih-bersih..trus kita kasih hadiah buat yang tititnya paling panjang yaitu si Adhi .si Adhi kita ijinin buat megang memek-memek kita berlima hihihi dia malu-malu banget megangnya tapi di pegang juga sih dasar cowok!!

Aku dan Kakak ku

Ini mungkin sebuah pengalaman yang paling gila (menurutku), karena orang pertama yang mengajarkan seks kepadaku adalah kakak kandungku sendiri. Aku adalah seorang gadis berumur 18 tahun (sekarang), dan kakakku sendiri berusia 23 tahun. Sudah lama aku mengetahui kelainan yang ada pada diri kakakku. Karena ia sering mengajak teman perempuannya untuk tidur di rumah, dan karena kamarku berada persis di sebelah kamarnya, aku sering mendengar suara-suara aneh, yang kemudian kusadari adalah suara rintihan dan kadang pula teriakan-teriakan tertahan. Tentu saja meskipun orang tuaku ada di rumah mereka tak menaruh curiga, sebab kakakku sendiri adalah seorang gadis.
Ketika aku mencoba menanyakannya pada awal Agustus 1998, kakakku sama sekali tidak berusaha menampiknya. Ia mengakui terus terang kalau ia masuk sebuah klub lesbian di kampusnya, begitu juga dengan kekasihnya. Waktu itu aku merasa jijik sekaligus iba padanya, karena aku menyadari ada faktor psikologis yang mendorong kakakku untuk berbuat seperti itu. Kekasihnya pernah mengecewakannya, kekasih yang dicintainya dan menjadi tumpuan harapannya ternyata telah menikah dengan orang lain karena ia telah menghamilinya. Kembali pada masalah tadi, sejak itu aku jadi sering berbincang-bincang dengan kakakku mengenai pengalaman seksnya yang menurutku tidak wajar itu. Ia bercerita, selama menjalani kehidupan sebagai lesbian, ia sudah empat kali berganti pasangan, tapi hubungannya dengan mantan-mantan pacarnya tetap berjalan baik.

Begitulah kadang-kadang, ketika ia kembali mengajak pasangannya untuk tidur di rumah, pikiranku jadi ngeres sendiri. Aku sering membayangkan kenikmatan yang tengah dirasakannya ketika telingaku menangkap suara erangan dan rintihan. Aku tergoda untuk melakukannya. Pembaca, hubunganku yang pertama dengan kakakku terjadi awal tahun 2000, ketika ia baru saja putus dengan pasangannya. Ia memintaku menemaninya tidur di kamarnya, dan kami menonton beberapa CD porno, antara tiga orang cewek yang sama-sama lesbian, dan aku merinding karena terangsang secara hebat mengingat kakakku sendiri juga seperti itu.

Awalnya, aku meletakkan kepalaku di paha kakakku, dan ia mulai mengelus-elus rambutku.
“Aku sayang kamu, makasih ya, mau nemenin aku”, katanya berbisik di telingaku.
Mendengar hal itu, spontan aku mendongakkan wajah dan kulihat matanya berlinang, mungkin ia teringat pada kekasihnya. Refleks, aku mencium pipinya untuk menenangkan, dan ternyata ia menyambutnya dengan reaksi lain. Di balasnya kecupanku dengan ciuman lembut dari pipi hingga ke telingaku, dan di sana ia menjilat ke dalam lubang telingaku yang membuat aku semakin kegelian dan nafsuku tiba-tiba saja naik. Aku tak peduli lagi meski ia adalah kakakku sendiri, toh hubungan ini tak akan membuatku kehilangan keperawanan. Jadi kuladeni saja dia. Ketika ia menunduk untuk melepaskan kancing-kancing kemejaku, aku menciumi kuduknya dan ia menggelinjang kegelian.
“Oh.. all..”, desahnya.
Aku semakin liar menjilati bagian tengkuknya dan memberi gigitan-gigitan kecil yang rupanya disukai olehnya.

Ketika kusadari bahwa kemejaku telah terlepas, aku merasa tertantang, dan aku membalas melepaskan T-shirt yang ia kenakan. Ketika ia menunduk dan menjilati puting susuku yang rupanya telah mengeras, aku menggelinjang. Kakakku demikian lihai mempermainkan lidahnya, kuremas punggungnya.
“Oohh.. Kaakk, ah.. geli”, Ia mendongak kepadaku menatap mataku yang setengah terkatup, dan tersenyum.
“Kamu suka?”.
“Yah..”, kujawab malu-malu, mengakui.

Ia kembali mempermainkan lidahnya, dan aku sendiri mengusap punggungnya yang telanjang (kakakku tak biasa pakai bra ketika hendak tidur) dengan kukuku, kurasakan nafasnya panas di perutku, menjilat dan mengecup. Aku memeluknya erat-erat, dan mengajaknya rebah di peraduan, lantas kutarik tubuhku sehingga ia berada dalam posisi telentang, kubelai payudaranya yang kencang dan begitu indah, lantas kukecup pelan-pelan sambil lidahku terjulur, mengisap kemudian membelai sementara jemariku bermain di pahanya yang tidak tertutup. Aku menyibakkan rok panjang yang dipakainya kian lebar, dan kutarik celana dalamnya yang berwarna merah sementara ia sendiri mengangkat pantatnya dari kasur untuk memudahkanku melepaskan CD yang tengah dipakainya.

Ketika aku meraba ke pangkal pahanya, sudah terasa begitu basah oleh cairan yang menandakan kakakku benar-benar sedang bergairah. Aku sendiri terus menggelinjang karena remasannya di payudaraku, tapi aku ingin lebih agresif dari pada dia, jadi kubelai lembut kemaluannya, dan merasakan jemariku menyentuh clitorisnya, aku membasahi jemariku dengan cairan yang ada di liang senggamanya kemudian kuusap clitorisnya, lembut pelan, sementara ia mendesah dan kemudian meremas rambutku kuat-kuat.
“Oh.. Yeahh.. Ukkhh, ahh, terus, teruss, ahh”, celoteh kakakku dengan ributnya. Aku terus mengusap clitoris kakakku, dan tiba-tiba kurasakan tubuhnya mengejang kuat-kuat, jemarinya meremas punggungku, lantas ia merebah lemas.

Aku memandang ke wajahnya yang bersimbah keringat, “Sudah Kak?” Ia mengangguk kecil dan tersenyum.
“Thanks yah”, aku mengedik.
Aku belum puas, belum. Kukeringkan jemariku sekaligus kemaluan kakakku, kemudian aku turun, dan menciumi pahanya.
“Ohh.. teruskan terus.. yeah.. terus..”, aku tak peduli dengan erangan itu, aku mendesakkan kepalaku di antara kedua pahanya dan sementara aku mulai menjilati selangkangannya, kulepaskan ritsluiting rok kakakku, dan menariknya turun. Aku juga melepaskan sendiri celana jeans pendek yang tengah kupakai, kemudian aku memutar badanku sehingga kemaluanku berada tepat di atas wajah kakakku. Ia mengerti dan segera kami saling menjilat, pantat serta pinggul kami terus berputar diiringi desahan-desahan yang makin menggila. Aku terus menjilati clitorisnya, dan kadangkala kukulum, serta kuberi gigitan kecil sehingga kakakku sering berteriak keenakan. Kurasakan jemarinya bergerak mengelusi pantatku sementara tangan kirinya merayap ke pinggir dipan.

Sebelum aku menyadari apa yang ia lakukan, ia menarik tanganku dan menyerahkan sebuah penis silikon kepadaku.
“Kak?”, bisikku tak percaya.
“Masukkan, masukkaan, please..” Ragu, aku kembali ke posisi semula dengan ia terus menjilati clitorisku, kumasukkan penis buatan itu perlahan-lahan, dan kurasakan ia meremas pantatku kuat-kuat, pinggulnya berputar kian hebat dan kadang ia mendorong pantatnya ke atas, aku sendiri menyaksikan penis itu masuk ke lubang kemaluan kakakku dan asyik dengan pemandangan itu, kusaksikan benda tersebut menerobos liang senggamanya dan aku membayangkan sedang bersetubuh dengan seorang lelaki tampan yang tengah mencumbui kemaluanku.

Lama kami berada dalam posisi seperti itu, sampai suatu ketika aku merasakan ada sesuatu di dalam tubuhku yang membuatku seolah merinding seluruh tubuh karena nikmatnya, dan tahu-tahu aku menegang kuat-kuat, “okh.. kaakk.. ahh.. ahh!” Tubuhku serasa luluh lantak dan aku tahu aku telah mengalami orgasme, kucium paha kakakku dan kumasukkan penis silikon itu lebih cepat, dan pada ritme-ritme tertentu, kumasukkan lebih dalam, kakakku mengerang dan merintih, dan terus-terang, aku menikmati pemandangan yang tersaji di depanku ketika ia mencapai orgasme. Terakhir, aku mencium clitorisnya, kemudian perut, payudara dan bibirnya. Lantas ketika ia bertanya, “Nyesel nggak?” aku menggeleng dengan tegas. Malam itu kami tidur dengan tubuh telanjang bulat, dan sekarang kami kian sering melakukannya.

Aku dan Adiku

Namaku Ani, mahasiswi tingkat tiga di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Aku dan saudaraku empat bersaudara, aku anak nomor tiga. Kakakku yang paling besar, Kak Ina sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di Jakarta. Abangku nomor dua, Abang Doni bekerja di Batam, dan adikku Toni yang paling bungsu masih kelas satu SMU negeri di Bandung.

Pertama kali aku melakukan hubungan seks ialah dengan abangku ketika aku masih kelas dua SMU. Saat itu abangku sedang cuti dan pulang ke Bandung, aku sangat senang sekali. Kami bertiga pergi ke Cipanas dan kami menyewa sebuah pondokan di sana. Malam harinya saat aku sedang tertidur lelap di kamarku, aku merasa ada sesuatu di kemaluanku. Mula-mula rasanya enak sekali seperti ada yang membelai dan menghisapnya, tetapi tiba-tiba rasanya sangat sakit seperti ada yang menekan dan berusaha masuk, dan kurasakan juga seperti ada yang sedang menindihku.

Saat aku membuka mataku, aku melihat abangku sedang menindihku dan berusaha memasukkan batang zakarnya, aku cuba meronta tapi tenagaku tidak kuat.
Abang jangan, aduh sakit bang.., sakit..!
Diamlah, jangan menjerit..! kata abangku.
Malam itu kegadisanku diambil oleh abangku sendiri. Tidak ada rasa nikmat seperti yang kubaca di buku, melainkan rasanya sakit sekali. Aku hanya pasrah dan menahan sakit di bahagian liang cicapku ketika abangku bergerak di atas tubuhku. Gerakannya kasar seperti ingin mengoyak-ngoyakkan tubuhku. Aku hanya menangis tersedu-sedu. Saat kulihat tubuh abang mengejang dan kurasakan ada sesuatu yang hangat menyemprot ke dalam liang cicapku, semakin hancurlah perasaan hatiku.

Pagi harinya aku hanya terdiam di kamar, karena tubuhku rasanya lemah dan sakit. Saat abang mengajakku pergi, aku hanya memalingkan wajahku dan menangis. Pagi harinya abang masuk ke kamarku, dia minta maaf atas kejadian semalam, tapi aku hanya diam saja. Malam harinya abang datang lagi ke kamarku. Aku sangat takut, tapi dia hanya tersenyum dan mencoba mencium bibirku, aku kembali meronta. Aku memaki-maki abang, tapi dia tidak peduli dan kembali mencium bibirku sambil meremas payudaraku, lama-lama aku menjadi terangsang karenanya. Dan malam itu kembali aku dan abang melakukannya, tapi lain dari malam yang kemarin, malam ini aku merasakan kenikmatan yang luar biasa dan kami melakukannya dua sampai kali.

Sebelum abang kembali bekerja di Batam, ketika mengantar abang di Bandara, aku malah meminta hadiah perpisahan darinya. Aku ketagihan. Di kamar mandi Bandara kami melakukannya lagi, Ah bang Doni.., terus Mas.. akh..
Akh Ani, kamu cantik sekali, akh... Ani, abang mau keluar, akh..!
Ani juga bang.., akh... bang, Ani keluar bang.., akhh..!
Bang Doni memelukku erat-erat, begitu juga diriku. Setelah beberapa saat kami berciuman dan kembali lagi ke ruang tunggu dengan alasan habis dari kantin beli makanan. Aku hanya bisa menangis saat abang pergi, tapi aku juga sangat bahagia dengan hadiah yang diberikannya.

Sejak saat itu aku seperti ketagihan dengan seks, dan untuk melampiaskannya aku hanya dapat melancap di kamar mandi. Beberapa kali aku melakukannya lagi dengan abang pada saat ia pulang ke Bandung. Sekarang aku sudah punya pacar dan kami mulai melakukannya, tapi aku jarang merasakan kenikmatan seperti yang kudapatkan dari abang. Dan saat adikku mulai meningkat dewasa, aku melihat tubuh abang, tapi adikku lebih tampan dan gagah bila dibandingkan dengan abang. Aku sering merasa terangsang, tapi hanya bisa kutahan dan lagi-lagi hanya bisa kulampiaskan dengan jalan melancap. Entah berapa lama aku bisa menahan keinginan untuk melakukannya dengan adikku.

Sampai suatu hari, saat orang tuaku sedang tidak ada di rumah, adikku baru pulang sekolah dan aku menyiapkan makan siang untuknya. Karena hari itu terasa panas, aku hanya menggunakan celana pendek dan t-shirt tanpa memakai BH. Saat adikku kusuruh makan, Toni menolak karena sudah makan di luar bersama teman-temannya, dan akhirnya aku makan sendiri, sedangkan adikku asyik berenang. Selesai makan aku buatkan jus jeruk dan kuantarkan ke kolam renang. Sambil meminum jus jeruk, aku melihat adikku berenang. Saat Toni keluar dari kolam renang dan duduk di sebelahku sambil meminum jus jeruk dan berjemur, jantungku berdetak semakin cepat dan aku sangat tidak tahan untuk memeluknya.

Tidak kusangka adikku yang dulunya polos, sekarang sudah berubah menjadi seorang cowok yang gagah dan tampan terlebih lagi hobinya adalah berenang. Dadanya terlihat bidang dengan bentuk yang menggairahkan, tubuhnya atletis dan bisa kutebak kalau batangnya juga lumayan besar. Aku hanya dapat memandangnya, wajahnya ditutupi oleh handuk kecil yang digunakannya untuk mengeringkan tubuhnya. Aku sudah tidak tahan lagi dan aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Aku membelai dada adikku dan Toni hanya menggelinjang kegelian.

Mbak Ani.., apaan sih.. Geli tau..! Kurang kerjaan, mendingan bikinin aku roti bakar...
Aku sedikit terkejut dan kucubit perutnya, Toni hanya tertawa.
Emang aku pembantumu, enak aja. kataku agak jengkel.
Aku sudah benar-benar tidak tahan, tanpa pikir panjang lagi kutindih tubuh adikku dan kulempar handuk dari wajahnya.
Mbak Ani mau ngapain sih.. tanyanya.
Tanpa sepatah kata pun langsung kucium mulutnya dan kuremas-remas dadanya yang bidang itu. Adikku sangat terkejut dengan apa yang kulakukan dan mendorong tubuhku. Aku tidak peduli, kucium lagi bibirnya dan kali ini adikku tidak bereaksi apa-apa dan mencoba untuk menikmatinya. Aku tahu kalau Toni mulai terangsang, karena kurasakan diantara kedua pahanya ada sesuatu yang bertambah besar.

Kuciumi terus bibir dan lehernya, adikku sedikit kewalahan tapi Toni selalu mencoba membalas ciumanku walau terasa agak kaku.
Baru pertama dicium cewek ya.. tanyaku.
Ah Mbak, terusin aja Mbak..! katanya tidak sabar lagi.
Mendengar ucapannya aku jadi semakin bersemangat, langsung kubuka kaosku, dan adikku hanya bisa melotot melihat payudaraku yang cukup besar.
Wah susu Mbak bagus sekali, baru kali ini Toni melihat susu cewek. katanya.
Kusuruh Toni memegang dan meremasnya, Aduh jangan keras-keras, sakit.. Coba sekarang kamu isep susu Mbak..
Lalu kusodorkan payudaraku ke mulutnya, Toni mengulum dan menghisap puting payudaraku, Akh enak sekali Ton, sshs... akhh terus Ton.., enak sekali...

Kusuruh Toni berhenti, lalu kuciumi lagi bibir dan lehernya, kemudian kuturun ke dadanya dan kuciumi serta kugigit pelan putingnya, Toni hanya bisa mendesah lirih, Akh.. enak Mbak, akhh...
Dengan tergesa aku turun kebawah, kulihat batang kejantanannya yang gagah sudah sedikit tercetak dan memperlihatkan kepalanya di celana renang adikku. Dengan penuh nafsu langsung kutarik celana renang adikku sampai ke lututnya.
Wah.., Ton punya kamu Oke juga nih, lebih bagus dari punya Mas Doni.., begitu pikirku.

Adikku hanya tersenyum dan sepertinya tidak sabar dengan apa yang akan kulakukan. Aku pun lalu membuka celanaku dan sekarang aku telanjang. Toni bangun dari kursi dan duduk, lalu Toni meraba bibir kemaluanku, kemudian kusuruh Toni menjilati bibir kemaluanku. Toni kelihatannya kaget tapi langsung kutarik kepalanya ke arah kemaluanku, dan Toni mulai menjilati permukaan lubang senggamaku.
Akh.., Ton enak sekali terus akh... yaa disitu Ton, enak.., akhh... terus Ton terus akkhh... desahku.

Aku menggelinjang keenakan dibuatnya, rasanya enak sekali dan aku sangat suka jika ada yang menjilati kemaluanku. Aku sudah tidak tahan, kudorong tubuh adikku ke kursi lagi, kemudian kupegang batang kejantanannya dan kuarahkan ke liang senggamaku. Toni kelihatannya sedikit tegang saat kepala kejantanannya menyentuh permukaan bibir kemaluanku. Toni menahan nafas dan mengerang saat aku menekan tubuhku ke bawah, dan batang kejantanannya masuk seluruhnya ke liang kewanitaanku.
Akh... Mbak... enak sekali... hangat.. ayo Mbak terusin..!

Aku lalu bergerak, menggoyangkan pantatku ke atas dan ke bawah, dan kadang kuputar-putar, tangan adikku kusuruh meremas-remas payudaraku dan Toni sangat bernafsu sekali. Aku bergerak semakin lama semaki cepat, tanganku memegang paha adikku untuk tumpuan. Beberapa saat kemudian, nafas adikku mulau memburu dan gerakannya mulai tidak karuan, kadang memegang pantatku, kadang meremas payudaraku, dan aku tahu kalau Toni sudah hampir sampai dan berusaha menahannya.

Akh.. Mbak.., aduh... Toni mau keluar Mbak..!
Tahan Ton.., Mbak sebentar lagi akhh..!
Semakin kupercepat gerakanku, aku mulai liar. Kuremas dadanya dan saat kurasa kenikmatan itu, aku menekan tubuh adikku, dan tubuhku menjadi tegang sambil kuremas paha adikku.
Toni nggak tahan lagi Mbak... akh... Mbak, Toni keluar Mbak akhh..!
Pantatnya terangkat ke atas seperti ingin menusuk kewanitaanku dan kurasakan semprotannya yang cukup keras beberapa kali di dalam rahimku. Begitu juga denganku, otot kemaluanku menekan batangnya dan kurasakan liangku semakin basah, baik oleh cairanku ditambah mani adikku yang menyemprot sangat banyak di lubang senggamaku.

Tubuh kami basah oleh keringat, dan kemudian kupeluk tubuh adikku menikmati sisa-sisa kenikmatan tadi. Nafas adikku mulai teratur dan kurasakan batang kemaluannya mulai mengecil di liang kewanitaanku, namun pantatku masih tetap bergoyang di atas tubuhnya.
Mbak, enak sekali.., makasih ya Mbak, baru pertama kali ini Toni merasakan nikmatnya tubuh perempuan dan nikmatnya melakukan hubungan badan.
Mbak yang harusnya makasih sama kamu, ternyata adik Mbak cukup hebat walau baru pertama kali, tapi Mbak sangat puas sekali dan Mbak pengen sekali lagi, bolehkan Ton..
Wah.., Toni juga mau Mbak..!

Kucabut batang kejantanannya dari lubang kewanitaanku dan kembali kurasakan orgasme saat mencabutnya. Batang kemaluan adikku sudah mengecil sekarang, tapi tetap telihat gagah. Toni lalu duduk di pinggir kursi dan aku kemudian menjilati batang kejantanannya, Toni kembali mendesah, Ssshhh.., enak Mbak..!
Tangannya membelai rambutku dan kadang meremas payudaraku. Aku kembali terangsang dan batang kemaluan Toni dengan cepatnya kembali tegak dan kokoh. Aku lalu lari dan menceburkan diriku di kolam renang, Toni menyusul setelah membuka celana renang yang masih tertinggal di lututnya. Di kolam kembali kami berciuman, tapi sekarang Toni kubiarkan lebih agresif. Sambil duduk di tangga kolam, diciuminya bibir dan leherku, kemudian dihisapnya puting payudaraku.

Kemudian kurasakan Toni berusaha memasukkan batang keperkasaannya, tapi selalu meleset. Aku hanya tertawa kecil, lalu kubantu dia. Kupegang batangnya dan kuarahkan ke kemaluanku. Toni hanya tertawa kecil dan kemudian dia menekan rudalnya ke sarangku. Toni lalu menggerakkan pantatnya dan memompa senjatannya keluar masuk liang surgaku, nafasnya juga mulai memburu. Aku menikmati tekanan yang diberikan Toni dan rasanya nikmat sekali.
Akh.., enak sekali Ton, yang keras Ton..! Akh..!
Akhh Mbak.., kita pindah di kursi ya.. Di sini nggak enak.
Toni lalu mengangkat tubuhku, kulingkarkan kakiku di pinggangnya sehingga aku masih bisa bergerak walaupun Toni berdiri dan berjalan ke arah kursi tempat kami tadi.

Di baringkannya tubuhku, lalu Toni mulai memompa batang kejantanannya lagi, semakin lama semaki cepat. Aku mengimbangi gerakakn Toni dengan mengerakkan pantatku ke kiri dan ke kanan, kadang kuremas-remas pantat adikku yang kenyal. Nafas Toni mulai tidak teratur.
Lebih cepat Ton.. akh..!
Mbak.., Toni mau keluar Mbak, akh..!
Gerakan Toni semakin cepat, dan saat kulihat tubuh Toni mulai mengejang, kulingkarkan kakiku di pinggangnya. Toni menekan dan memasukan batang kemaluannya lebih dalam lagi.
Akh.., Mbak, Toni keluar Mbak, akhh.., Mbak.. ngeakhh...

Tubuhnya lalu rubuh di atas tubuhku. Tanpa mengeluarkan burungnya, kusuruh Toni berbalik dan aku mulai menggerakkan pantatku di atas tubuhnya. Batang kemaluan Toni memang mengecil, tapi lama-lama mulai mengembang lagi. Aku bergerak tidak karuan di atas tubuhnya, sampai beberapa saat kemudian aku orgasme, kupeluk erat-erat tubuh Toni. Setelah agak tenang, karena aku tahu kalau Toni belum keluar, kemudian aku turun dan mengulum batang keperkasaannya. Toni menggerakkan pantatnya ke kiri dan ke kanan dan kadang menusuk ke dalam mulutku. Selang beberapa waktu kemudian, batang kemaluannya seperti mengembang di dalam mulutku.
Akh.., Toni keluar lagi Mbak.. akhh..!
Maninya menyembur di dalam mulutku dan kutelan semuanya, kemudian kami berpelukan dan berciuman. Tanpa sadar kami tertidur di kursi, kepalaku kurebahkan di dadanya dan tubuhku di atas tubuhnya.

Sore hari kami dikejutkan oleh suara klakson mobil dan kami buru-buru bangun. Aku memakai bajuku yang berserakan di pingir kolam dan Toni buru-buru mengambil celana renangnya dan berlari ke kamarnya. Saat makan malam, kakiku mengeranyangi kakinya dan jari kakiku menekan batangnya yang mulai mengembang. Kedua orang tuaku sedikit keheranan dengan kelakuan kami, tapi mereka tidak pernah tahu dengan apa yang telah terjadi di antara kami. Malamnya seusai makan malam aku langsung masuk kamar, begitu juga Toni. Tengah malam aku terbangun karena Toni menciumi bibirku dan malam itu kami melakukannya lagi.

Sejak saat itu, secara sembunyi-sembunyi kami melakukannya, bahkan setelah aku menikah dengan pacarku, kami pun masih sering melakukannya, terutama saat suamiku sedang dinas keluar kota. Rahasia ini sampai sekarang masih kami pegang.

Saat pernikahan Toni aku memberikan sebuah hadiah. Setelah malam pengantinnya, kami melakukannya di gudang belakang rumah saat semua orang sudah terlelap. Toni bilang walaupun istrinya sekarang masih gadis, tapi tidak ada yang menyaingi aku. Makanya suamiku sangat betah di rumah karena servisku yang sangat memuaskan, tanpa tahu kalau aku selingkuh dengan adik kandungku sendiri.

Suami Adikku

Edwin mendesah panjang. Nafasnya memburu, sementara goyangan tubuh bagian bawahnya mendesak kedua pahaku semakin terbuka lebar. Kedua lengannya berdiri tegak menahan badannya di kiri-kanan kepalaku. Dadanya menutupi semua pandanganku. Aku hanya bisa melingkarkan lengan kepunggungnya. Tanpa bisa kutahan, desahanku terdengar keras mengikuti irama gerakan Edwin. Derit ranjang tempat kami bercinta semakin cepat. Kulirikan mataku keatas, kulihat mata Edwin terpejam sambil menggigit bibir bawahnya. Aku berusaha menyilangkan kaki ke atas pinggulnya, terlihat Edwin tersenyum tanda ia senang akan apa yang aku perbuat. Lengannya tertekuk sedikit dan bibirnya mengecup dahiku. Ketekan pantatku ke bawah, mulutnya bergumam.
"Ouh...enak San, lagi...,"
Edwin merengek meminta saya melakukan hal yang sama berulang-ulang, sementara ia terus menggoyangkan pantatnya. Merasa nikmat, Edwin malah semakin buas. Nikmat sekali memang jika gerakannya semakin cepat seperti itu. Pelan-pelan aku rasakan puncak kenikmatan semakin dekat. Mataku mulai terpejam, ah..., saat-saat seperti ini yang aku tunggu setiap bercinta dengan laki-laki. Desahku semakin terdengar tak beraturan. Darah ditubuhku mengalir dengan cepat. Dan, tak berapa lama, tubuhku terasa bergetar. Aku menggelinjang, punggung Edwin aku dekap erat, sementara kakiku menekan pantatnya sekuat tenaga. "Terus Win...terus...." Gerakan Edwin semakin cepat. "Sedikit lagi...sedikit lagi." Kenikmatan itu aku rasakan semakin dekat, dan..... "Ooooooh.....," desahku panjang dan terdengar keras. Kakiku menghentak-hentakkan pantatnya, nafasku memburu, dan pinggulku terlonjak-lonjak. Edwin memperlambat gerakannya dan melihatku sambil tersenyum. Kemudian, nafasku mulai tenang. Mataku masih terpejam saat Edwin mencium bibirku lembut. Aku membuka mata. Edwin mulai lagi bergerak dengan buas. Penisnya menghujam vaginaku tanpa ampun. Hanya reda beberapa saat, desahku mulai kembali memburu, demikian juga dengan Edwin.
"Uuh...uh, Ayo Win,...aku sudah,"
Aku bergumam berusaha memacunya agar cepat menyelesaikan adegan percintaan ini. Penisnya terasa makin keras, guratan di sekujur alat kelaminnya terasa sekali membentur dinding vaginaku.
"Sandraaaa!!!" teriaknya memanggil namaku. Seketika, goyangannya terputus-putus, tubuhnya bergetar, desahnya membahana memenuhi ruangan, diiringi denyut penisnya, dan cairan hangat yang memenuhi kemaluanku. Ia terjerebab menimpaku. Aku memeluknya erat dan menciumi dadanya yang menimpa wajahku. Edwin tergolek lemas, kepalanya terkulai di atas dadaku, ia tampak berusaha mengatur nafasnya. Lantas tubuhnya terguling ke sisiku. Di wajahnya tersungging senyum tanda kepuasan. Kuhampiri wajahnya, dan kurebahkan kepalaku ke dadanya.
"Enak, Win?"
Ia mengangguk dan membuka matanya. Tanpa berkata-kata, ia mencium bibirku dan memelukku erat. Ia tersenyum lagi dan mencium dahiku lembut. Kami berpelukan agak lama. Keringat terasa membasahi tubuh kami. Aku usap dahinya yang berpeluh. Ia membelai rambutku lembut, kucium lengannya yang kekar dan mendekapnya.
"Yuk, kita tidur...," ajak Edwin.
Aku mengangguk dan menarik selimut.
Namun, hingga setengah jam kemudian, aku masih belum bisa tidur. Kupandangi Edwin yang tertidur pulas meyimpulkan kenikmatan bagi dirinya. Kulihat wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang tinggi besar tergolek lemas di sampingku. Ah, saya masih tak habis pikir, bagaimana semua ini bisa terjadi? Kekhilafan itu seakan melupakan kita akan status masing-masing yang seharusnya aib jika melakukan hubungan layaknya hubungan suami istri. Pikiranku menerawang jauh, tak ada duanya memang, sensasi yang kami lakukan.
--------
Namaku Sandra, lengkapnya Sandra Damayanti. Anak keempat dari lima bersaudara. Ketiga kakakku semuanya laki-laki, hanya aku dan adikku, Shinta, yang perempuan. Jarak usiaku dengan ketiga kakakku cukup jauh. Dengan kakak sulung, Mas Adi, saya berselisih hampir sepuluh tahun. Sementara dengan Mas Oki dan Mas Nanto, masing-masing delapan dan lima tahun. Hanya aku dan Shinta yang dekat sekali (satu tahun), sehingga wajar jika aku dan Shinta menjadi amat akrab.
Aku bukan gadis alim. Jujur saja, di SMA aku sudah mengenal hubungan intim pria-wanita. Ah, pengalaman masa muda yang sulit dilupakan. Usiaku saat ini 25 tahun. Di keluarga, hanya aku satu-satunya yang belum menikah. Calon sudah ada, Rico, tapi peresmiannya masih harus menunggu pacarku selesai sekolah.
Kedekatanku dengan Shinta juga yang membuatku bisa menumpang di rumahnya. Shinta sudah menikah bulan Juli tahun lalu dengan pria mapan seusia Mas Adi. Saat menikah, Shinta masih amat lugu. Sebagai anak bungsu, ia memang dilarang ayah dan ibuku bersekolah di luar negeri seperti halnya aku dan ketiga kakakku. Kepindahannya ke Jakarta mengikuti suaminya, mungkin adalah yang pertama baginya keluar dari kota kelahiran kami, sebuah kota di Jawa Tengah.
Tak lama setelah Shinta menikah, aku selesai sekolah dan kembali ke Indonesia. Tawaran tinggal di Jakarta datang dari Shinta. Tentunya Shinta berpikir lebih baik aku menetap di Jakarta agar lebih mudah mencari kerja. Apalagi, rumahnya, di daerah elit Jakarta, hanya dihuni berdua dengan suaminya. Tawaran tersebut aku sambut baik. Aku hijrah ke Jakarta mengikuti apa yang dikatakan Shinta, Desember tahun lalu. Di Jakarta, saya sibuk melamar pekerjaan. Pahit juga nasibku, disaat lulusan-lulusan luar negeri dengan mudahnya memperoleh pekerjaan, saya justru terbalik.
Lama-lama, tidak enak juga tinggal di rumah orang, walaupun itu adik sendiri, tanpa memberikan kontribusi apapun. Dengan kesadaran sendiri, aku mengurus rumah sebagaimana layaknya ibu rumah tangga. Shinta juga bukan pemalas, di tengah kesibukannya berkarir, ia masih sempat mengurus rumah sebelum dan sesudah bekerja. Ia tidak tersinggung ketika perlahan-lahan tugas utamanya di rumah mulai aku ambil alih. Memasak adalah pekerjaan rutin saya di rumah.
Situasi berubah kira-kira tujuh bulan yang lalu. Shinta mendapat kesempatan belajar di AS dari kantornya. Tentunya, kesempatan ini tidak disia-siakan Shinta. Suaminya setuju melepas Shinta untuk masa kurang lebih dua tahun. Pesan Shinta kepadaku sebelum ia berangkat amat singkat, hanya satu kalimat. "Mbak, tolong urus Mas Edwin selama Shinta di Amerika, ya."
Sepeninggal Shinta, aku dan Edwin hanya berdua di rumah. Agak aneh memang, tinggal serumah dengan laki-laki yang bukan suami. Aku memang menggantikan peran Shinta di rumah. Semua kebutuhan Edwin aku yang menyiapkan. Shinta yang meminta aku melakukan ini. Kecuali kebutuhan biologis, bisa dikatakan semua kebutuhan Edwin aku layani. Paling tidak hingga lima bulan kemudian.
Memasuki bulan ketiga, aku dan Edwin mulai sering mencari hiburan di luar rumah berdua. Biasanya, kami pergi nonton film atau makan malam. Sesekali, Edwin menemaniku melihat pameran rumah atau lainnya. Beberapa kali, kami juga hinggap ke cafe-cafe. Dan tampaknya, hobi datang ke cafe ini adalah yang paling kami nikmati. Aku dan Edwin jadi keranjingan mendatangi cafe. Satu persatu kami jelajahi. Coba di sini, coba di sana, pokoknya hampir semua kami coba. Sedikit mendengar musik, ngobrol, dan minum, cukup membuat kami segar kembali. Shinta juga tahu kebiasaan kami ini. Dia juga yang menyuruh suaminya menemaniku jalan-jalan. Dari aksi jalan-jalan ini saya jadi tahu, Edwin memang seorang pria lembut.
Seiring dengan itu, kerinduanku dengan Rico semakin memuncak. Maklum, sudah hampir setahun kami berpisah. Dulu, saat masih bersama, aku dan Rico tinggal serumah, sehingga kebutuhan biologis bukanlah masalah yang serius. Beruntung, aku punya kesibukan di rumah, sehingga selama ini semua keinginan untuk berhubungan intim bisa kuredam. Namun, setiap pulang dari cafe, apalagi di sana aku juga mengkonsumsi minuman beralkohol (walaupun tidak banyak), keinginan tersebut kerap muncul. Dan, seringkali aku memupuskannya dengan cepat tidur, sehingga lupa. Sampai suatu hari, aku agak lepas kontrol dalam menenggak minuman. Singkatnya, aku sedikit mabuk. Berjalan ke mobil aku memang masih bisa, tapi sesudahnya tubuhku lemas dan setibanya di rumah, badanku terasa berat dan sulit untuk bisa beranjak keluar mobil. Edwin-pun sama, walaupun kadarnya masih lebih banyak aku. Ia masih bisa mengendalikan diri dan membantuku berjalan.
"Ayo San, aku bantu," ujarnya sambil melingkarkan tangannya ke pinggangku. Aku rangkul pundaknya dan kepegang tangannya erat. Pelan-pelan kami berjalan ke kamar. Edwin membantuku merebahkan tubuh di ranjang.
"Mau air putih?" tanyanya. Aku menggeleng. "Thanks Win. Sorry, aku kebanyakan minum," ujarku. "Ngga pa-pa, biasa kok, sekali-sekali mabuk itu normal."
Ia berjalan hendak keluar kamar. Apa yang aku rasakan mendadak berubah. Lima bulan tinggal bersama di rumah ini, atau setahun lebih sejak aku pindah, baru sekali ini Edwin menyentuh tubuhku. Rasanya memang berbeda, tubuhku terasa bergetar. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba aku seperti ingin diperlakukan lebih.
Aku tersenyum memandang wajahnya. Edwin juga tersenyum. Edwin mengurungkan niatnya untuk keluar kamar. Ia mendekat dan membelai rambutku. Kusambut belaiannya dengan mencium tangannya. Tangannya menggenggam tanganku dan tanpa aku sadari, kutarik tubuhnya mendekati tubuhku. Sebuah kecupan lembut mendarat di bibirku. Tanpa pikir panjang, aku sambut kecupannya dan akhirnya kami bercumbu.
Pengaruh alkohol seakan semakin memanaskan adegan percintaan kami. Tangan Edwin mulai meraba sekujur tubuhku, membuat aku semakin lepas kendali. Kecupannya juga sudah merambat ke leher. Aku hanya bisa memeluknya erat dan menarik polo shirtnya ke atas. Kuciumi pundaknya dengan ganas. Edwin meronta kegelian, dan kini giliran lidahnya menari-nari diatas dadaku. Kerah kaus yang aku pakai semakin turun dan sedikit demi sedikit lidahnya terasa membasahi dadaku. Edwin semakin ganas, tanpa meminta persetujuanku, kancing di kausku mulai terbuka satu per satu. Dengan sigap, tangannya juga melepas bra hitam milikku. Ia tersenyum menyaksikan payudaraku polos dihadapannya. Dirabanya lembut seluruh permukaan payudaraku itu. Kami kembali berciuman, kali ini lebih ganas. Aksi pagut-memagut terjadi. Sambil terus berciuman, ia mulai membuka kancing celanaku dan perlahan-lahan menurunkannya. Jemarinya menelusup ke sela-sela celana dalamku. Seketika aku mendesah keras saat jari-jari menyentuh organ paling intim di tubuhku. Rabaannya halus dan sungguh merangsang nafsu birahiku. Tak sampai sepuluh menit, kami sudah berpelukan polos tanpa batas.
Nikmat sekali rasanya didekap oleh tangan Edwin yang kekar. Bulu-bulu tubuhnya seperti menggelitik sekujur tubuhku. Kami makin lupa diri. Tanpa perlawanan, aku memang rela menyerahkan tubuhku pada Edwin dalam kondisi seperti itu. Edwinpun sepertinya semakin bernafsu. Nafasnya semakin memburu. Penisnya mulai menyentuh bibir vaginaku, seperti hendak mencari jalan masuk. Saat itu, bagiku tidak ada pilihan selain menerima penisnya terbenam di liang vaginaku, setahun lebih aku menanti saat-saat seperti ini.
"San...?"
Aku mengangguk pelan dan sesaat kemudian tubuhnya mulai menekan tubuhku. Kugenggam penisnya dan membantunya mengarahkan ke vaginaku. Sekali lagi ia menciumku, tak lama kemudian penisnya sudah bersarang di vaginaku tanda sebuah perselingkuhan telah terjadi.
--------
Aku terbangun oleh bunyi telepon yang berdering kencang. Edwin terlonjak dari tidurnya dan berjalan menuju ruang tengah. Tubuhnya masih telanjang. Seadanya aku mengenakan kimono. Langkahku terhenti di pintu dan menguping pembicaraan Edwin.
"...Iya sayangku, sebentar lagi aku berangkat,...baru keluar kamar mau sarapan,....ada, di kamar,...iya..iya nanti aku sampaikan,...kamu di mana?....ooh, kasihan..., capek?....Ya udah, kamu cepat pulang terus istirahat,...nanti aku telpon dari kantor....baik,...i love you too, bye..."
Mata Edwin beralih ke diriku. Sorot matanya sedikit berbeda dibanding tadi malam.
"Shinta...?"
Edwin mengangguk. Aku menunduk, tak terasa, ada genangan air di mataku. Edwin mendekat dan memeluk diriku erat. Ia membelai rambutku dan mencium keningku.
"Maafkan aku San. Aku khilaf," ujarnya singkat.
Aku tak kuasa berkata-kata, mulutku seperti kaku. Aku memang jahat, telah mengkhianati adikku sendiri, adikku yang paling aku sayangi.
"Kita semalam mabuk," ucap Edwin berusaha mencari pembenaran. Aku tetap diam tak bereaksi apa-apa. Aku hanya bisa memandang wajahnya dan tersenyum tipis. Ia membalas senyumku dan kembali memeluk erat tubuhku. Aku segera menyadari, hubungan kami tidak akan seperti lima bulan terakhir, karena pembatas itu sudah jebol, walaupun lewat sebuah perselingkuhan.
Pagi itu, aku merasa semakin dekat dengan Edwin. Aku seperti mendapat peran tambahan, seperti menjadi istri baru bagi Edwin. Untuk pertamakalinya, aku mengantarnya berangkat ke kantor sampai ke mobil. Edwin terlihat senang sekali diperlakukan seperti itu. Sebelum pergi, ia mencium bibirku lembut, persis seperti yang dilakukannya pada Shinta. Ah, kejadian malam itu seakan mengubah semua sikap kami berdua. Malam itu, habis-habisan kami bertempur. Dua jam kami bergumul di ranjang kamarku sampai akhirnya kami kelelahan. Kenikmatannya memang tiada tara, ada sensasi tersendiri yang terasa menyelinap.
Kenikmatan yang sama selalu kami usahakan berulang lagi. Aku selalu siap melayaninya kapan saja ia butuh, demikian juga dengannya. Tanpa pernah menolak, Edwin selalu meladeni permintaanku. Rasanya, aku tak bisa melewatkan satu hari tanpa bertemu dengan penisnya yang sudah memberikan kenikmatan padaku. Jadwal rutin kami adalah pagi sebelum Edwin berangkat ke kantor dan malam hari. Di hari libur, frekuensinya meningkat. Tanpa mengenal waktu, setiap saat kami bisa melakukannya sesuka kami. Lebih-lebih jika kami khusus pesiar ke suatu tempat. Bak pengantin baru, kami memuaskan diri dengan hubungan intim yang luar biasa.
Kemampuannya memang lain dibanding Rico. Jika kekasihku itu punya kelebihan dalam mencari variasi baru dan membuatku nyaman, maka Edwin lain lagi. Daya tahannya memang bagus. Mungkin akibat ia rutin berolahraga. Nafsunya juga besar, melihat aku memakai pakaian sedikit seksi saja, ia langsung mendekapku dan biasanya berakhir dengan persetubuhan. Jiwa petualangannya juga sedikit di luar batas. Dalam dua bulan ini saja, sudah berulangkali ia mengajakku berhubungan intim di tempat-tempat yang agak mengandung resiko. Yang paling saya ingat adalah saat ia mengajakku bersetubuh di kolam renang sebuah hotel di Bandung. Padahal, saat itu banyak orang di sekitar kita. Caranya memang unik. Tanpa keluar dari kolam, ia mengeluarkan penisnya di dalam air dan memasukkannya ke vaginaku sambil berdiri. Aku disuruhnya tetap diam dan ia yang mengontrol permainan kami. Maksudnya agar orang-orang tidak curiga.
Dari dia juga saya jadi tahu ternyata Shinta tidak seperti yang saya kira. Adikku ini pendiam dan tidak banyak maunya. Tadinya aku berpikir, Shinta akan pasif di tempat tidur. Ternyata aku salah besar. Menurut Edwin, sejak malam pertama, Shinta selalu berusaha mencari sesuatu yang baru dalam berhubungan suami istri. Nafsu seksualnya juga besar, kadang, masih menurut Edwin, mereka melakukannya tiga sampai empat kali sehari. Dalam hati aku berkata, sama saja dengan kakaknya. Kami amat menyadari, apa yang telah terjadi diantara kita adalah sebuah perselingkuhan. Kami juga sepakat tidak mengaitkan hal ini dengan keberadaan Shinta. Dengan Rico, walaupun kami sangat terbuka, saya juga tetap merahasiakan hubungan gila ini. Mengapa? Semata-mata agar kami tidak merasa bersalah. Nikmati saja dulu apa yang kini sudah terjadi.

Aku dan Mbak Yani

Setelah pindah dari rumah Tante Nita aku kos di daerah Taman Sari. Tempat kosnya cukup enak, lingkungannya juga cocok karena banyak mahasiswa. Tidak seperti di tempat Tante Nita, di tempatku yang baru ibu kosnya sudah tua dan sama sekali tidak menarik. Jadi aku sama sekali tidak berharap bisa menikmati hal-hal romantis dengan ibu kos di sini. Untunglah sebelum pindah aku dan Tante Nita sepakat tetap saling menguhubungi. Jadi kalau libidoku sedang tinggi aku langsung pergi ke wartel untuk bikin janji dengan Tante Nita, biasanya Tante Nita akan langsung menjemputku untuk pergi berkencan ke Lembang.

Tidak berapa jauh dari tempatku, ada seorang mahasiswi cantik. Angkatannya beda empat tahun denganku, kuliah tingkat akhir di Fakultas Hukum sebuah universitas swasta terkenal di daerah Taman Sari. Namanya sebut saja Yani, aku memanggilnya 'Mbak Yani' karena dia memang lebih tua dariku dan berasal dari Malang. Untuk ukuran cewek tingginya lumayan, kira-kira 165 cm, cuma beda 3 cm dariku. Rambutnya lurus panjangnya sedikit di bawah bahu, kulitnya putih dan bodynya bagus banget. Apalagi kalau sedang pakai jeans dan T-shirt, wow! Kalau dari skala 0 sampai 10 aku bisa kasih dia nilai 8,7 (Tante Nita cuma 6,8). Hanya sayangnya dia sudah punya pacar. Tapi sebagai tetangga kami cukup akrab, kadang aku main ke tempat kosnya sekedar untuk ngobrol dan nonton TV.

Suatu hari ketika aku datang ke tempat kosnya, aku lihat Mbak Yani sedang duduk termenung di depan kamarnya. Matanya terlihat sembab seperti habis menangis. "Lho Mbak, ada apa kok kayaknya baru menangis? Belum dikirimin duit yaa... ?" aku mencoba mengajaknya becanda seperti biasa. Mbak Yani hanya menggeleng diam. Wah... kayaknya serius nih... akupun terdiam beberapa saat sambil mencoba mencerna situasi.

"Ya udah Mbak, aku minta maaf... kalau Mbak lagi pengen sendiri aku balik dulu ya... " "Nggak apa-apa Don, kamu kalau mau nonton TV disini aja, nggak usah pulang... sekalian kamu temenin mbak ya... " katanya sambil mempersilahkan aku masuk.

Kasihan Mbak Yani, baru sekali ini dia kelihatan sedih sekali. Tentu ada persoalan yang cukup besar buatnya. Sambil nonton TV aku mencoba menghiburnya, "Mbak... ada masalah apa? Cerita aja ke Doni... biar sedihnya nggak ditanggung sendiri. Aku sudah menganggap Mbak Yani sebagai kakakku sendiri kok."

Setelah terdiam beberapa saat Mbak Yani mulai bicara dengan suara menahan perasaan, "Aku baru putus sama Mas Ary... cowok sialan itu ternyata punya pacar lagi dan hamil... "

Pelupuk mata Mbak Yani tampak berkaca-kaca.

"Tega-teganya dia berbuat seperti itu, padahal sudah empat tahun kami pacaran dan aku tidak pernah sedikitpun mengecewakan dia. Apa semua cowok seperti itu Don?"

"Nggak semua begitu mbak... sudah lupakan saja semua yang sudah terjadi, Mbak Yani masih punya banyak waktu untuk memulai lagi yang baru. Masih banyak cowok yang baik dan pantas buat Mbak Yani... " kataku sambil memegang tangannya. Mbak Yani tampak mencoba tersenyum, manis sekali.

"Mbak gimana kalau kita jalan-jalan naik motorku... biar Mbak Yani nggak sedih terus gitu... kita minum bajigur di Jalan Supratman yukk," aku mencoba menawarkan jasa. Mbak Yani mengangguk setuju.

Kamipun meluncur ke Jalan Supratman. Itulah pertama kali aku mengajak Mbak Yani naik Honda GL-Pro kesayanganku. Kesedihannya perlahan mulai mencair dan Mbak Yani mulai banyak menceritakan kekesalannya pada Mas Ary, bekas cowoknya. Aku hanya mengangguk-angguk sambil terus memegang tangannya yang melingkar di pinggangku.

Sampai di warung bajigur di Jalan Supratman kami langsung mencari tempat duduk yang enak untuk ngobrol. Aku tahu Mbak Yani sangat butuh tempat untuk mencurahkan semua kekesalannya. Sambil kami menikmati bajigur dan gorengan Mbak Yani masih terus bercerita panjang lebar, aku jadi pendengar yang baik sambil sekali-sekali mengiyakan dan mencoba menghiburnya.

Setelah Mbak Yani puas menceritakan semua uneg-unegnya kamipun pulang. Sepertinya Mbak Yani betul-betul terlepas dari beban kesedihannya, dia mulai bisa bercanda lagi seperti biasa. Sepanjang jalan Mbak Yani memeluk pinggangku dengan erat, kepalanya disenderkan ke punggungku. Aku senang sekali bisa membuatnya terhibur.

Sampai di rumah kira-kira jam 10 malam, aku mengantar Mbak Yani ke tempat kosnya. Saat aku mau pulang tiba-tiba Mbak Yani memegang tanganku, "Don, kamu jangan langsung pulang ya... temenin Mbak nonton TV sebentar... " Aku mengangguk.

Tidak seperti biasanya, kali ini Mbak Yani kelihatan begitu manja padaku. Di ruang TV ia merebahkan kepalanya di pangkuanku. Ah... ini kesempatan yang nggak akan datang dua kali pikirku. Sementara tangan kiriku memegang tangan kirinya, tangan kananku membelai-belai rambutnya yang lembut dan harum. Suasana malam itu menjadi terasa romantis. Perlahan-lahan naluri kelaki-lakianku mulai bangkit. Dengan lembut kucium pelipis Mbak Yani, dia diam saja tapi tangannya meremas tanganku.

Sekali lagi pelipisnya kucium, kali ini Mbak Yani membalikkan wajahnya dan menatapku. Tanpa pikir panjang aku perlahan-lahan mendekatkan bibirku pada bibirnya dan kami mulai berciuman. Bibirnya terasa hangat dan lembut sekali di bibirku.

Mbak Yani melepaskan bibirnya, "Don... nggak enak disini, kita di kamar aja ya... " Kamipun masuk ke kamar dan Mbak Yani langsung mengunci pintu. Masih dalam posisi berdiri, sambil kubelai rambutnya kembali bibir kami saling melumat.

Tanganku perlahan-lahan mulai menjelajahi tubuhnya. Saat tanganku menyentuh payudaranya, Mbak Yani mendadak melepaskan ciumannya, "Don... jangan... " Tapi dari tatapannya aku merasa kalau Mbak Yani ragu, antara mau dan malu. Aku hanya tersenyum, lalu bibir kami kembali saling melumat. Kuulangi lagi tanganku menjalari tubuhnya perlahan-lahan hingga akhirnya sampai kembali di payudaranya. Kali ini Mbak Yani tidak menolak, malah bibirnya semakin kuat memagut bibirku dan lidahnya terus melilit lidahku. Perlahan-lahan kuremas payudaranya dengan lembut. Mbak Yani semakin erat memelukku dan tangannya juga mulai aktif menggerayangi punggungku. Satu demi satu kancing bajunya kubuka, tak ada tanda-tanda Mbak Yani melarangku. Akhirnya tanganku mulai berani masuk ke sela-sela BH-nya dari bawah.

Ah... betapa empuk dan hangatnya payudara gadis cantik ini. Payudaranya jelas tidak sebesar punya Tante Nita tapi yang pasti terasa lebih kencang dan mulus. Ketika jariku mulai menyentuh puting susunya yang mungil Mbak Yani mulai menggeliat terangsang. Perlahan-lahan kulepas baju Mbak Yani, lalu kemudian BH-nya. Akupun melepas bajuku sehingga kami berdua berciuman dalam keadaan telanjang setengah badan.

Mbak Yani kemudian mengajakku ke tempat tidurnya, ia langsung merebahkan diri dan menarik tanganku untuk berbaring di sebelahnya. Di atas tempat tidur, sambil bibir kami saling melumat, tangan kananku terus aktif memainkan payudara dan putingnya. Mbak Yani makin terangsang dan mulai berdesah-desah keenakan, "Ah... mmh... mmhhh... "

Kemudian tanganku mulai berpindah ke bawah, perlahan-lahan kubuka kancing dan resleting celana jeansnya. Tanganku mulai menyelinap ke balik celana dalamnya. Kurasakan bulu-bulu halus disekitar vagina Mbak Yani, kemudian jariku menemukan belahan vaginanya yang hangat dan mulai basah. Saat jari tengahku menyentuh klitorisnya, Mbak Yani mendesah kuat tertahan sambil memegang tanganku, "Mmmhhh... uuuhh... "

Kepalaku mulai turun ke bawah, ke arah payudara Mbak Yani. Sementara tanganku terus mengeksplorasi klitoris dan lubang vagina Mbak Yani, lidahku yang nakal mulai menjilati payudara dan putingnya. Kadang-kadang putingnya kuemut dan kuhisap sambil kupermainkan dengan lidah. Mbak Yani terus menggelinjang keenakan sambil tangan kirinya meremas rambutku sementara itu nafasnya terdengar mulai berat.

"Mbak, aku lepas semua ya... ," kataku sambil melepaskan celana jeans dan celana dalam dari kakinya. Mbak Yani hanya diam pasrah. Aku lalu melepaskan celanaku sendiri sehingga kami berdua terbaring di tempat tidurnya tanpa sehelai benangpun. Sejenak kutatapi seluruh tubuh Mbak Yani, indah sekali. Lekuk tubuhnya nyaris sempurna dan mulus sekali tanpa cacat sedikitpun. Payudaranya yang berukuran sedang menyembul kencang dengan putingnya yang mungil berwarna sedikit lebih gelap dari kulitnya. Sementara itu di vaginanya tampak ditumbuhi bulu-bulu halus yang mencoba menutupi belahannya yang terlihat basah dan berwarna merah muda.

"Mbak Yani cantik sekali... indah luar biasa... ," pujian spontan keluar dari mulutku. Mbak Yani hanya tersenyum malu, kulihat wajahnya yang putih berubah memerah. Ah... Mbak Yani, sekarang nilaimu kutambah jadi 9!

Perlahan-lahan aku mengambil posisi di antara kedua kakinya. Kuangkat kaki kiri Mbak Yani dan betisnya kujilati, perlahan-lahan jilatanku bergeser ke lutut lalu ke daerah pahanya. Akhirnya sampailah aku di pangkal pahanya. Dengan lembut kusibakkan bulu-bulu halusnya dan jari-jariku mulai membuka belahan vaginanya, sehingga lubang vagina Mbak Yani dan klitorisnya yang mungil tampak jelas. Langsung kukecup vagina Mbak Yani dan kujilati liangnya dengan penuh semangat, sementara Mbak Yani tergolek pasrah sambil memejamkan mata. Aroma vagina Mbak Yani yang khas membuatku semakin bernafsu. Saat klitorisnya kupermainkan dengan lidahku Mbak Yani mendesah lagi dan menekan kepalaku dengan kedua tangannya, "Aahhh... Doni... Mmhh... "

Tidak sampai 5 menit Mbak Yani mulai tidak tahan dan minta berhenti, "Stop dulu Don... Mbak udah nggak tahan... nanti keluar, Mbak mau gantian, boleh?"

Aku melepaskan kepalaku dari selangkangan Mbak Yani dan pindah berbaring di sebelahnya. Mbak Yani bangkit memegang penisku dan langsung menjilatinya sambil tangannya meremas buah zakarku. Mbak Yani tidak membiarkan satu bagianpun dari penisku yang bebas dari jilatan lidahnya, semuanya dijilati habis mulai daripangkal penis sampai kepala penis dan lubangnya. Bahkan sesekali ia menjilati bola pingpongku sampai ke bagian pangkalnya sehingga menimbulkan rasa geli-geli nikmat yang luar biasa.

Setelah puas dengan lidahnya, ia mulai memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Sambil bibirnya menghisap, Mbak Yani terus mempermainkan batang penisku dengan lidahnya. Luar biasa, tidak kusangka Mbak Yani yang cantik dan sehari-hari demikian sopan dan lembut ternyata sangat mahir dalam mempermainkan penis seorang pria.

Pinggulku tanpa sadar mulai bergerak-gerak mengimbangi rangsangan Mbak Yani dan aku mulai mendesah-desah ke enakan, "Mmh... Mbak... enak Mbak... terusin Mbak... " Sementara aku menikmati oral Mbak Yani, tanganku menyelinap di bawah perutnya dan mulai menjelajahi selangkangannya. Aku langsung mengusap-usap klitoris Mbak Yani yang sudah sangat basah dan mengeras dengan jari tengahku.

Tidak berapa lama kemudian badan Mbak Yani terasa mulai bergetar tak teratur, ia langsung melepaskan penisku dan menarik tanganku dari klitorisnya. "Doni... masukin sekarang ya... Mbak hampir nggak tahan... ," katanya sambil merebahkan diri di sampingku dengan nafas yang terengah-engah.

Aku bangkit, Mbak Yani langsung mengangkat lutut dan membuka kakinya. Celah vagina Mbak Yani tampak sedikit terbuka dan sudah basah oleh cairannya sendiri.

"Mbak, kalau Doni keluar di dalam bagaimana?" tanyaku. "Enggak apa-apa, Mbak baru selesai mens dua hari yang lalu jadi sekarang masih aman," katanya sambil tersenyum menantang. Ah... Mbak Yani, tergeletak pasrah seperti itu membuatnya tampak seksi sekali dan aku menjadi sangat terangsang. Penisku terasa mengeras dan membesar siap meledak. Aku ingin segera menindih tubuhnya dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya.

Langsung kuarahkan penisku ke selangkangannya, perlahan kubuka bibir vagina Mbak Yani dan kepala penisku kuletakkan tepat di atas lubang vaginanya. Dengan dorongan yang perlahan tapi pasti masuklah seluruh penisku ke dalam lubang Mbak Yani. "Mmhh... ," Mbak Yani mendesah perlahan sambil menggigit bibirnya. Gila, rasanya enak banget. Dibanding dengan punya Tante Nita jelas vagina Mbak Yani lebih fresh dan lebih sempit. Aku merasakan batang penisku dari pangkal sampai ujung seperti dicengkeram oleh dinding-dinding vagina Mbak Yani. Sambil kucium lehernya, kumasukkan penisku dalam-dalam dan kutahan bberapa saat untuk meresapi sensasi nikmat yang diberikan oleh vagina Mbak Yani.

Akhirnya pinggul Mbak Yani mulai bergerak-gerak meminta aku untuk menggesek-gesekkan penisku. Akupun mulai menggerak-gerakan pinggulku untuk menancapkan penisku berulang-ulang ke dalam vagina Mbak Yani. Sementara itu tangan kiriku menggenggam tangan kanan Mbak Yani dan tangan kananku meremas payudara serta mempermainkan putingnya. Mata Mbak Yani tampak terpejam dan bibir bawahnya terus digigit menahan nikmat. Kami berganti posisi berkali-kali, kadang Mbak Yani di atas, lalu kembali aku yang di atas.

Kira-kira setelah limabelas menit berlalu kurasakan gerakan Mbak Yani makin lama makin kuat dan desahannya makin sering serta nafasnya semakin berat. Sementara itu tangannya makin erat memelukku. Kelihatannya Mbak Yani sudah hampir orgasme dan akupun mulai merasakan dorongan yang sama... aku sudah hampir kehilangan kontrol.

"Doni... mmhh... Mbak udah hampir keluar... " "Doni juga Mbak, kita barengan ya... " "Mmmh... Doni... Mbak nggak tahan lagi... Aaah... "

Pinggul Mbak Yani terasa menyentak-nyentak ke atas, akupun menusukkan penisku makin cepat dan makin dalam... sampai akhirnya kenikmatan puncak itu sudah tidak dapat kami tahankan lagi...

"Donii... Uuuhhhh... aaahhhhh... " "Mbak Yani... Aaaaghhhh... "

Kupeluk Mbak Yani erat-erat dan diapun mencengkeram punggungku dengan sekuat tenaga, kami orgasme bersamaan dengan penisku tertanam dalam-dalam di vagina Mbak Yani sambil mengeluarkan seluruh isinya. Sebuah orgasme yang luar biasa nikmat. Kami berpelukan cukup lama sampai akhirnya aku mulai merasakan kelelahan akibat orgasme yang intens. Kukecup bibir Mbak Yani dan aku merebahkan diriku di sampingnya. Mbak Yani terlihat terengah-engah kelelahan, matanya masih terpejam dan mulutnya sedikit terbuka.

Kupandangi wajah Mbak Yani yang basah oleh keringat tampak begitu cantik dan seksi dalam kelelahannya. Tapi tiba-tiba kulihat ada air mata yang menetes dari kedua ujung matanya. Aku tersadar kalau aku mungkin telah melakukan perbuatan yang tidak seharusnya kulakukan. Aku telah mengambil kesempatan dari kerapuhan emosi Mbak Yani saat dia sedang patah hati...

"Mbak... Doni minta maaf mbak... seharusnya Doni nggak begitu sama Mbak Yani... ," kataku sambil membelai rambutnya. Mbak Yani mengusap air matanya dan menatapku sambil tersenyum. "Nggak apa-apa Don, Mbak nggak nyesel melakukan ini dengan kamu. Mbak hanya teringat sama si Ary sialan itu. Mbak sudah menyerahkan segalanya sama dia dan sampai kami putus Mbak tidak pernah dengan orang lain selain dia. Tapi ternyata... ," "Sudahlah... Mbak... nggak usah diingat lagi... ," aku spontan meletakkan telunjukku di mulutnya supaya Mbak Yani tidak terus bicara mengenai bekas cowoknya.

Aku lega karena bukan aku yang menyebabkannya menangis, langsung kubelai lagi rambut Mbak Yani dan kukecup lembut bibirnya. Kubiarkan Mbak Yani merebahkan kepalanya di dadaku sambil kupeluk. Malam itu terasa begitu indah sekali, sayang sekali aku tidak bisa menginap di rumah Mbak Yani. Aku tidak ingin Mbak Yani diusir dari tempat kosnya gara-gara aku.

Sejak saat itu hubunganku dengan Mbak Yani menjadi semakin dekat, dan setiap ada kesempatan kami tidak segan-segan mengulangi lagi apa yang kami perbuat malam itu. Mbak Yani tidak pernah menyesalinya, apalagi aku. Tapi hubunganku dengan Mbak Yani tetap seperti adik-kakak, sekalipun sebenarnya aku mengharapkan bisa menjadi kekasihnya. Tampaknya Mbak Yani masih belum mau menjalin kisah asmara baru dengan siapapun.

Hubunganku dengan Mbak Yani tidak berlangsung lama karena tujuh bulan setelah itu Mbak Yani lulus dan kembali ke Malang. Sebelum kami berpisah Mbak Yani sempat meneraktirku menginap semalam di Hotel Putri Gunung, Lembang. Katanya Mbak Yani mau punya kenangan indah denganku.

Kami menikmati malam terakhir itu dengan bersetubuh sepanjang malam sampai kami benar-benar lelah dan tertidur pulas hingga siang. Begitu bangun tidur kami langsung melakukannya lagi, di tempat tidur, di lantai, dan juga di bathtub. Kalau kelelahan kami hanya berbaring tanpa busana sambil berpelukan menunggu energi kami pulih kembali. Kami hanya keluar kamar untuk makan dan sekadar jalan-jalan di sekitar hotel, setelah itu kami kembali ke kamar untuk bercumbu, bersenggama, dan menikmati setiap detik kebersamaan kami yang terakhir. Kami pulang kembali ke Bandung dalam keadaan lelah dan benar-benar puas.

Lima tahun kemudian, aku menerima sebuah undangan perkawinan bertuliskan, "Kepada Adikku Tersayang... " Aku bersyukur ternyata kakakku yang cantik itu akhirnya menikah juga dengan pria pilihannya. Calon suaminya seorang pengusaha real-estate. Aku datang ke pesta perkawinannya di Malang dan memberikan selamat serta doa... Mbak semoga suamimu tidak pernah membuatmu menangis seperti dulu.

Aku dan Mbak Ina

Panjang Coy....siapin DjiSamSoe ama kopi dolo.....ama tisu, mana tau ko nggak tahan buat ngocok kekeke.....
====================================================================================


Sudah sepuluh tahun aku bekerja di suatu perusahaan swasta. Diawali dengan membaca iklan yang dimuat oleh perusahaan tersebut, keesokan harinya aku datang membawa berkas yang dibutuhkan dan memasukkan lamaran lewat Sekretaris Eksekutif Direktur Utama, Ibu Ina namanya. Orangnya cantik, langsing dan menarik. Setelah melalui seleksi yang cukup ketat, akhirnya aku diterima bekerja. Aku sangat senang dan bekerja dengan giat.

Berkat kerja keras, pimpinan memberikanku kesempatan meningkatkan keterampilan dengan sekolah lagi di luar kota, sehingga akhirnya aku memperoleh jabatan yang semakin tinggi. Ibu Ina yang dulunya jauh kedudukannya di atasku, menjadi semakin dekat, sehingga kami sering bertemu. Setelah duduk di jajaran eksekutif, barulah aku tahu bahwa ia sudah bersuami dan mempunyai dua orang anak yang sudah duduk di bangku SLTA dan SLTP. Padahal sejak kulihat pertama kali, aku sudah naksir dia, sayang ia sudah menikah. Ibu Ina yang kulihat sepuluh tahun lalu, belum banyak berubah, meskipun sudah berusia 40 tahun. Aku sendiri berusia 5 tahun di bawahnya. Keterampilan dan penampilannya selalu mempesona, sehingga posisinya semakin menanjak, bahkan setelah menyelesaikan pascasarjana strata dua ia diangkat sebagai Manager pada bidang quality control. Meskipun setahun yang lalu aku menikahi Waty, seorang gadis manis dari Klaten, aku tetap menjadi pengagum diam-diam Ibu Ina. Tak seorang pun di kantor yang mengetahui betapa aku begitu memujanya.

Suatu ketika Direktur Utama memanggilku, "Saudara Agus saya tugaskan mengikuti pertemuan dengan beberapa rekanan di Yogya selama 3 hari." Aku sempat kesal waktu dipanggil menerima tugas tersebut, karena ada ulah bawahan di bagianku yang membuatku uring-uringan dan harus kubereskan dalam waktu 5 hari. Aku sempat menolak halus, "... tapi maaf Pak, bukankah saya harus membereskan masalah di bagian saya?" Sang Direktur berkata, "Tentang hal itu tidak perlu saudara risaukan, saya sudah menugaskan orang lain untuk menyelesaikannya." Lalu ditambahkannya, "Oh ya, saudara saya minta membantu sepenuhnya Ibu Ina, salah seorang manager kita untuk mempresentasikan di depan rekanan tentang manajemen mutu perusahaan kita. Pertemuan ini sangat penting dalam rangka menjalin kerja sama ke depan. Saudara saya minta bersungguh-sungguh dalam tugas ini. Saya mempercayakan saudara mendampingi Ibu Ina mengingat kemampuan saudara yang telah saya lihat selama ini." Ups, aku terhenyak kaget, bukan hanya karena kepercayaan yang diberikan kepada saya, tetapi karena seakan mendapatkan durian runtuh. "Pucuk dicinta ulam tiba," pikirku, "Tiga hari bersama si Cantik Bu Ina tentunya akan sangat menyenangkan." Rasanya tidak sabaran menunggu saat keberangkatan.

Sehari sebelum keberangkatan ke Yogya, Ibu Ina memanggilku dan mengatakan,

"Dik Agus, aku agak deg-degan naik pesawat akhir-akhir ini, sehingga meskipun seharusnya kita naik pesawat, aku telah memesan dua tiket kereta api eksekutif malam untuk kita. Tetapi lumpsum kita tidak dikurangi selama berada di sana. Harap Dik Agus maklum dan tidak keberatan atas keputusanku," nada suaranya terkesan galak dan tegas.

Kujawab dengan spontan, "Tak apa-apa, Bu, demi menemani Ibu Ina, saya bersedia jalan kaki sekalipun."

Ia tersenyum kecil sambil mencubit lenganku. Wah, terkejut hatiku karena tidak menduga mendapat perlakuan demikian. Ah, berjuta rasanya. Kuelus-elus lenganku menikmati bekas cubitannya. Ia hanya memandangku dengan tatapan yang tak kumengerti.

Saat berangkat dari Stasiun Gambir, aku duduk di sebelah kanan Bu Ina. Kami ngobrol begitu akrab, seakan-akan dua sahabat lama yang bertemu kembali. Wangi parfumnya begitu menggodaku, apalagi rambutnya yang sebahu tergerai lepas dan anak rambutnya sesekali mengenai keningku dikala kami berbincang-bincang.

Menjelang tengah malam, Bu Ina minta ijin tidur duluan. Memang sebelumnya kulihat ia sudah menguap tanda mengantuk. Aku masih membaca majalah sambil sesekali melirik wajahnya yang cantik. "Ah, betapa lembut wajahnya, andaikan aku dapat mengelusnya," batinku. Lamunanku semakin melambung manakala tubuhnya semakin rapat ke tubuhku dan kepalanya rebah di pundak kiriku. Tak enak mengganggu tidurnya, kubiarkan saja kepalanya bersentuhan dengan kepalaku, bahkan beberapa kali kudekatkan hidungku menghirup wangi rambutnya. Tak tahan dengan situasi itu, tangan kiriku kuletakkan ke pundak kirinya, merangkul tubuhnya. Kurasakan pipinya bersentuhan dengan pipiku. Ah, betapa halusnya. Tapi aku tak berani berbuat lebih jauh. Tak lama kemudian aku tertidur dalam posisi memeluk pundaknya.

Tiba di Yogya, aku duluan bangun dan kuperbaiki letak dudukku agar ia tidak malu jika mengetahui kupeluk pundaknya semalaman. Kami pun naik taksi menuju hotel tempat pertemuan kami yang dimulai hari itu.

Setelah dua hari lamanya berada di Yogya, pertemuan kami berakhir sehari lebih cepat dari yang dijadwalkan. Bu Ina berbisik padaku usai makan siang,

"Dik Agus, tidak ada rencana mau kemana siang ini? Kalau tidak mengganggu, habis makan siang ini, tolong temani aku belanja ya?"

"Baik Bu, ke manapun Ibu minta, akan saya antar," jawabku sambil memperhatikan wajahnya.

Siang itu kami berdua berjalan sepanjang Jalan Malioboro. Usai belanja, Ibu Ina mengajakku naik delman menuju hotel tempat kami menginap. Kami masuk ke kamar masing-masing. Letih juga berjalan menemani Bu Ina berbelanja. Aku berpikir ingin memanjakan diri sambil membersihkan tubuh, kemudian aku bertelanjang menuju kamar mandi dan berendam di bathtub. Rasanya belum lama berendam, telepon di kamar berdering kudengar berdering. "Sial, siapa yang ganggu orang sedang santai gini?" gerutuku. Kutarik handuk dan mengeringkan tanganku, lalu dengan bertelanjang, aku keluar kamar mandi dan mengangkat gagang telepon.

"Sedang ngapain, Dik?" kudengar suara lembut di seberang sana, "Ah, ternyata Ibu Ina," pikirku.

"Sedang mandi, Bu, habis gerah banget abis jalan-jalan tadi," jawabku.

"Waduh, maaf ya, jadi ganggu kegiatan Dik Agus," sesalnya, "Kalau gitu, teruskan aja mandinya."

Khawatir ia butuh bantuanku, dengan cepat kubantah, "Tidak apa-apa, Bu. Sudah selesai koq. Ada yang bisa saya bantu, Bu?"

"Gini lho Dik, tapi maaf lho, terus-terusan aku minta bantuanmu. Sekarang kan sudah pukul enam, tadi petugas hotel memberitahuku ada film bagus di bioskop yang dekat hotel ini. Aku ingat waktu kuliah dulu di Bulaksumur suka nonton di situ. Bagaimana kalau tak ada acara, Dik Agus temani Mbak nonton? Tapi makan malam dulu deh!" Aku terkejut campur senang mendengar ajakannya, tetapi lebih kaget lagi waktu mendengarnya mengganti sebutan dirinya dengan Mbak. "Ah, ada apa nih?" pikirku penasaran.

"Wah, dengan senang hati, Bu. Bila perlu kita makan di luar aja, supaya tidak telat nontonnya," timpalku dengan hati berbunga-bunga.

"Jangan panggil Ibu terus dong, kita kan sedang tidak di kantor. Panggil Mbak gitu, apalagi Mbak belum setua ibumu, bukan?" katanya di seberang sana.


"Maaf, Bu... eh... Bu... eh... iya Mbak Ina," kataku terbata-bata.

"Nah, kan? Masih latah sebut Ibu terus?" guraunya lagi. Kemudian sambungnya, "Kita makan aja dulu, baru nonton. Mbak tunggu di ruang makan hotel tiga puluh menit lagi ya?" serunya tanpa menunggu jawabanku dan memutuskan pembicaraan.

Waktu makan malam, aku begitu terpesona melihat penampilan Mbak Ina (sekarang kuganti panggilannya sesuai permintaannya tadi). Ia mengenakan celana jeans dan kaos, sebab ia tampil seperti anak muda usia belasan tahun. Apalagi warna lipstick tipis merah muda yang menghiasi bibir mungilnya. Kami makan berdua sambil berbincang-bincang tentang berbagai hal.

Setelah makan, kami menuju bioskop yang dimaksud Mbak Ina. Ternyata film yang akan kami saksikan telah berjalan setengah jam dan pintu theatre sudah ditutup. Ada film di dua theatre lain, tetapi karena tidak tertarik, Mbak Ine tidak mau. Sewaktu melihat jadwal tayang, kami melihat bahwa film yang akan kami tonton masih akan diputar pukul 23.

"Bagaimana jika kita nonton tengah malam Dik? Tokh kita masih nginap semalam lagi dan besok sore baru kembali ke Jakarta?" tukas Mbak Ina.

"Saya sih tidak keberatan, Mbak, asal Mbak tidak takut tidur kemalaman ntar," kataku.


"Ah, sekali-sekali tidur larut malam tak apa, kan? Apalagi sayang jika tadi kita langsung pulang, padahal hotel ini sudah dibayar mahal sampai besok sore," timpalnya sambil menarik tanganku. "Kita jalan-jalan dulu deh nunggu pukul sebelas," tambahnya. Kami pun keluar areal bioskop setelah memesan tiket untuk pertunjukan film pukul 23.

Kami berjalan-jalan dan menikmati roti bakar dan wedang jahe di pinggir jalan. "Ah, ternyata enak juga jalan bareng Mbak Ina, bisa merakyat begini, tidak hanya makan di restoran mahal," pikirku.

"Heh, ngapain, siang-siang sudah ngelamun jorok," tiba-tiba Mbak Ina mengagetkan aku sambil mencubit pipiku. Aku tersipu-sipu malu dan menjawab,

"Nggak ngelamun koq, Mbak, cuma heran aja, koq kita bisa begini akrab ya, padahal di Jakarta tidak sempat seperti ini?"

"Ah kamu... emang nyesel jalan bareng Mbak?" tanyanya merajuk. Eh, dia mulai mengganti panggilan Dik dengan kamu. Aku agak heran, tapi kupikir mungkin karena ia makin merasa amat dekat denganku.

"Siapa bilang nyesel, Mbak? Malah senang banget. Nggak pernah mimpi bisa berdua Mbak begini."

Sepuluh menit menjelang pukul 23, kami sudah kembali ke bioskop. Kami masuk dan nonton film romantis, tetapi berbau horor. Waktu menonton adegan yang menyeramkan, tangan Mbak Ina memegang pergelangan tanganku dengan kencang.

Suatu ketika pegangannya begitu kuat, hingga aku terkejut dan berseru,

"Mbak, tanganku sakit tertusuk kuku Mbak!"

"Aduh, maaf, abis ngeri banget sih liat vampire-nya muncul tiba-tiba," katanya tanpa melepaskan genggaman tangannya.

Namun saat ada adegan ranjang yang cukup hot, dimana pemain wanitanya hanya tinggal mengenakan baju tipis dan buah dadanya nampak terbuka, sedang berciuman dengan tokoh vampire di film tersebut, kurasakan jari-jari Mbak Ina meremas-remas jari-jari tangan kiriku. Aku hampir tak berani bergerak merasakan remasan tangannya dan napasku serasa terhenti di leher. Hal itu terjadi beberapa kali. Aku tidak berusaha menepis, karena kupikir itu reaksi alami karena adegan panas yang kami lihat, bahkan aku berharap agar tangannya tidak pindah dari jari-jariku. Namun aku tidak berani membalas remasannya, khawatir ia akan salah sangka.

Pukul 01 film pun berakhir. Kami naik becak menuju hotel. Mbak Ina nampak masih tercekam oleh film tadi, sehingga ia banyak berdiam diri.

"Mbak udah ngantuk ya? Koq diam aja?" tanyaku sambil mencolek punggung tangannya.

"Hiiyy, serem juga film tadi. Untung ada kamu, kalau tidak, Mbak udah pingsan kali," jawabnya.

"Ah, itu kan cuma film, Mbak. Ngapain dipikirin, ntar malah nggak bisa tidur lho! Apalagi tidak ada teman di kamar Mbak," kataku.

Ia diam saja, sehingga aku agak menyesal menggodanya dan memegang jari-jarinya,

"Maaf ya Mbak, saya tidak bermaksud menakut-nakuti Mbak. Maafkan kata-kata saya barusan."

Mbak Ina membalas sentuhanku dengan meremas jari-jariku sambil berkata,

"Tak apa-apa. Kamu begitu baik temani sejak siang tadi dan nonton, walaupun film tadi mungkin bukan film yang kamu sukai."

Kami turun dari becak dan menuju lantai lima di mana kamar kami berada dan masuk ke kamar masing-masing. Aku masih merasakan aroma parfum yang dipakai Mbak Ina melekat di pundak dan jari-jariku. Seperti kerasukan, aku menciumi jari-jariku sendiri seolah-olah mencium jari-jari Mbak Ina. Sewaktu mau merebahkan tubuh di ranjang, telepon berdering. "Ah, siapa lagi telepon malam-malam?" pikirku, "Dik Agus, sudah tidur ya?" kudengar suara Mbak Ina di seberang sana.

"Hampir tidur Mbak. Ada apa, Mbak?" tanyaku.

"Aa... aku... takut, kebayang-bayang film tadi. Dik Agus tolong ke kamarku sebentar ya!" pintanya.

Dengan bercelana pendek dan kaos oblong, aku mengetuk pintu kamarnya. Ketika pintu kamarnya terbuka, aku tercekat sebab melihat Mbak Ina berdiri dengan baju tidur tipis berwarna putih sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya diterangi lampu kamar yang redup. Walaupun agak temaram, aku dapat melihat jelas betapa seksinya tubuh Mbak Ina. Tanpa sadar aku menelan ludah beberapa kali, apalagi melihat di balik baju tidurnya ia mengenakan BH dan celana dalam warna merah hati.

"Ayo masuk, jangan bengong aja di situ!" ajaknya sambil menutup pintu di belakangku. "Kalau tak keberatan, maukah kamu duduk sambil nonton TV untuk menemani aku sampai aku tidur? Kalau aku sudah tertidur, tinggalkan saja dan kembali ke kamarmu," sambungnya.

"Boleh Mbak, malah saya sangat menyesal telah menakut-nakuti Mbak dengan ucapan saya waktu di becak tadi, sehingga bermaksud menemani Mbak sampai pagi," kataku menanggapi.

"Benar nih, sampai pagi mau temani aku?" tagihnya.

Aku bingung juga dengan spontanitasku yang kusesali dapat membuatku menjadi satpam semalaman ini, tetapi melihat diri Mbak Ina dalam pakaiannya sekarang membuatku bersemangat, bila perlu seminggu lagi menemani dia sekamar.

"Ok Mbak, aku siap mengawal Mbak, tak usah takut ada vampire," jawabku menyombong.

Mbak Ina berbaring di ranjangnya yang berukuran king size, sedangkan aku duduk di kursi yang ada di dekat TV sambil mencari channel yang menyuguhkan film. Tetapi mataku mencuri-curi pandang ke arah tubuhnya yang walaupun sebagian ditutupi selimut, bagian dadanya yang hanya tertutup sepertiga BH-nya ternyata tidak tertutup selimut. Aku tidak tahu, apakah ia sengaja melakukan itu atau tidak. Kuperhatikan diam-diam, ia sudah memicingkan matanya.

Setengah jam kemudian kulihat ia sudah tertidur, terbukti dari suara napasnya dan matanya yang terpejam rapat, kuamati dadanya yang membusung indah naik turun dengan teratur sesuai helaan napasnya. Aku duduk dengan gelisah, sebab laki-laki mana yang tahan sekamar dengan wanita secantik Mbak Ina dalam baju tidur demikian? "Adik kecilku" yang sudah bangun sejak masuk kamarnya terus menerus mengangguk-angguk, menggodaku dengan bisikan liar, "Ayo, apa lagi yang kau tunggu, bukankah ini peluang emas yang kau impikan selama ini? Kapan lagi ada kesempatan begini dan ajakannya menemani adalah undangan untuk mereguk anggur kenikmatan?"

Aku hampir tak berani beringsut dari dudukku, perlahan kugerakkan leher menoleh ke arah Mbak Ina. Ia tidur dengan tenang. Namun tiba-tiba kudengar ia berteriak, "Tidak, tidak, jangan... ahhh... " Aku terkejut dan melompat dari dudukku. Kulihat Mbak Ina terduduk, matanya agak melotot, ia terengah-engah, jari-jarinya meremas sprei ranjangnya, dan kuperhatikan tetesan keringat di keningnya. Sedangkan selimutnya berantakan tidak menutupi bagian dadanya, sehingga sebagian payudaranya yang putih dapat kulihat dengan jelas, tetapi aku menghalau pikiran-pikiran mesumku.

Aku duduk di ranjang, di dekatnya sambil memegang tangannya lembut, bertanya, "Mimpi ya Mbak? Jangan takut, saya ada di dekat Mbak."

Ia diam saja, tetapi tanpa kuduga, ia menarik tanganku dan tanpa dapat kucegah sentakannya membuat tubuhku jatuh ke arahnya dan menimpa tubuhnya. "Ma...ma...af, Mbak, saya... " ucapanku tak selesai karena tiba-tiba bibirku sudah ia tekan ke pipinya. Aku terkejut dengan muka merah padam. Dan belum selesai keterkejutanku, ia menarik tubuhku masuk ke balik selimutnya sambil berkata dengan memelas,

"Temani aku tidur, aku takut... Jangan jauh-jauh di sana! Peluk aku ya!"

Napasku seakan berhenti, jantungku berdebar-debar kencang, sebab kedua bahuku telah ia peluk erat, hingga terasa kedua buah dadanya menekan dadaku. "Aduhai, betapa kenyal payudara wanita ini," batinku seraya berharap pelukan itu takkan ia lepaskan. Jantungku semakin kencang menghentak-hentak dadaku ketika sebelah kakinya naik memeluk paha dan kakiku. Nafas Mbak Ina terasa begitu dekat di wajahku. Aku serasa bermimpi dan tanpa sadar menutup mataku.

Seperti seorang bayi yang membutuhkan dekapan, Mbak Ina meletakkan kepalanya di dadaku dan tanpa kusadari jari-jariku membelai-belai rambut di keningnya sambil menenangkannya. Kulihat ia memejamkan mata sambil memeluk tubuhku. Aku pun merasa begitu damai merengkuh pundaknya sambil mengingat suasana sewaktu di kereta api bersamanya. Ada kemiripan, tetapi kali ini lebih mesra, apalagi kami berdua sama-sama sedang mengenakan pakaian tidur. Rasanya begitu teduh dan nyaman. Tangannya semakin erat memeluk pinggangku dan kurasakan dagu dan hidungnya ditekankan ke dadaku hingga kelelakianku kurasa bangkit. Aku tidak berani berbuat macam-macam, walaupun hasratku sudah menggelegak. Tetapi sewaktu bibirnya bergerak naik ke leher, hembusan napasnya kurasa semakin dekat ke dagu dan pipiku, aku membuka mata dan menatap wajahnya. Hatiku kaget bercampur senang sebab kulihat Mbak Ine dengan mata terpejam semakin mendekatkan bibirnya ke bibirku. Secara naluriah aku membuka mulut dan menyambut bibirnya. Aku tidak ingat lagi siapa di antara kami yang memulai ciuman itu, dia atau aku, tapi aku tidak peduli. Gairahku bergelora ketika lidahnya mengait lembut tepi bibirku dan menyusuri rongga mulutku dan menggelitiki lidahku dengan lincahnya. Dengan tangkas kusambut pilinan lidahnya dengan lidahku. Tangan kiriku yang semula ada di atas bahunya yang terbuka, mulai naik ke arah dagu, pipi dan merabai bibirnya. Mbak Ina mendesah, "Ahh... ahh... aku kangen kamu, Gus... Peluk aku dan berikan kehangatan buatku!" pintanya.

Aku menggelinjang merasakan aksinya selanjutnya. Mbak Ina begitu buas menciumi wajahku, leherku, turun ke dadaku, hingga aku sempat terperangah kaget saat ia meremas putingku dan mengisapnya, kadang-kadang lembut, dan di waktu lain begitu kuat menggemaskan. Kedua puting dadaku dijilati dan dimasukkan ke mulutnya secara bergantian. Lidahnya begitu lincah bermain di sekujur dadaku, turun ke perut dan lidahnya menggelitiki pusarku hingga aku merasakan aliran darahku memompa begitu kencang. Aku tak ingat lagi siapa dia dan bagaimana posisinya di kantorku, yang terpikir hanyalah bagaimana memacu kenikmatan bersamanya. Yang terbayang di benakku saat itu adalah seakan-akan sedang memadu kasih dengan istriku sendiri. Sebelah tanganku mengusap-usap perutnya yang datar, tidak terlihat gemuk meskipun sudah melahirkan dua orang anak, sedangkan tanganku yang lain mengelus-elus pundak, punggung dan pinggulnya hingga ia meliuk-liukkan tubuhnya dengan sangat menggairahkan.

"Kamu mau ku-blow job, Agus sayang?" desahnya sambil melakukan "mandi kucing" pada perut, pinggang dan pusarku.

"Ahh... ssshhh, oohhh... Mmm... mmau, Mmbaakkk... mau banget!" aku memohon dengan sangat, karena begitu dahsyat ia memainkan lidah dan bibirnya sambil tangannya mulai bergerak ke arah celanaku, menyentuh penisku dari luar dan pelan-pelan menurunkan celana pendek dan celana dalamku secara serempak. Aku sudah tak sadar dengan ucapanku, karena birahiku sudah begitu dalam menguasai diriku. Tidak ada lagi Agus yang alim, yang sopan, yang santun, yang selalu menghargai wanita. Bahkan aku tak sendiri tidak ingat kapan ia membukai kaosku hingga kini aku benar-benar bugil di hadapannya, sedangkan ia masih mengenakan baju tidurnya. Aku benar-benar tak berkutik dibuatnya, bahkan sewaktu kucoba membuka kait BH dan melolosi baju tidurnya, Mbak Ina dengan gesit menepis tanganku dan sama sekali tidak memberi peluang bagiku. "Sebentar sayang, giliranku memuaskanmu... ," desahnya di sela-sela permainan bibir dan lidahnya yang begitu memabukkan.

Aku merasa seperti terombang-ambing, apalagi waktu ia mencium, menjilat dan mengisap kulit perut, pinggul dan pinggangku dengan gerakan lembut, berganti dengan gigitan-gigitan kecil, lumatan kasar, bahkan kadang-kadang kurasakan perih bercampur nikmat. Tangannya tak ketinggalan mengelus, mencubit, dan meremas pahaku, lutut, betis juga bagian-bagian atas tubuhku, tak ketinggalan putingku yang semakin merah akibat cubitan-cubitan kecilnya yang membuatku terlonjak-lonjak.

Dalam memuncaknya gairahku, kulihat ia bergeser menempatkan tubuhnya berlutut di antara kedua paha dan kakiku, kepalanya tepat di selangkanganku. Ia mengusap-usap rambut di pangkal pahaku tanpa menyentuh penisku sama sekali hingga aku semakin menggeliat-geliat dibuatnya. Masih dengan kesibukannya memainkan bulu-bulu di sekitar penisku, bibir dan lidahnya mulai merambat ke sela-sela pahaku. Lidahnya menjilati pahaku dan "Ahh... Mmmbakkk,... ohhhh... en...nakkkk... nikmattt sayanggg..." aku terpekik waktu lidahnya menjilati kedua testisku secara bergantian, apalagi waktu keduanya dimasukkan ke dalam mulutnya dan diisapnya seakan-akan sedang menikmati es krim. Aku merasa terbang melayang.

Setelah itu, lidahnya naik menjilati penisku, mulai dari bawah naik ke leher penis, pada bagian ini ia melakukan gerakan melingkar, hingga lidahnya bergerak mengelilingi leher penisku, lalu ia mengarahkan lidahnya ke lubang pipisku. "Ohh... Ougghh... enakh Mbaaakkk akkhhhh..." dan semakin tersentak saat kedua bibirnya mengecup kepala penisku dan menelannya hingga seluruh kepalanya tertelan oleh mulutnya. Dengan gerakan lembut, Mbak Ina memasukkan dan mengeluarkan kepala penisku dalam mulutnya. Aku merasa seakan-akan hampir tidak sadarkan diri, karena nikmat sewaktu penisku dimasukkannya hingga pangkalnya dan terasa ujungnya membentur daging lembut di tenggorokannya. Aku semakin menggelinjang saat merasakan jari-jarinya mengelus lubang analku dan kurasakan ada cairan yang ia oleskan di situ, aku hanya sempat melihat sekilas ke arah bawah, ternyata sesekali Mbak Ina memasukkan jarinya ke mulutnya dan menaruh ludahnya ke lubang analku. Entah mengapa dan bagaimana ia melakukannya, aku tak mau bertanya saat itu, hanya sanggup merintih dan berusaha menikmatinya sambil meremasi rambutnya yang tergerai.

Pinggang dan pantatku kunaikkan karena geliatku ke kiri dan ke kanan terasa sudah tidak memadai, dan jeritan nikmatku kembali memecah di kamar hotel itu ketika jari tengah tangan kanannya perlahan-lahan memasuki analku, sedikit demi sedikit dan akhirnya sampai seluruhnya masuk ke analku. Kepalaku kugoyangkan ke kanan kiri dan kedua tanganku menekan belakang kepala Mbak Ina ke arah pahaku, hingga seluruh batang penisku masuk ke mulutnya. Belum pernah aku merasakan sensasi yang begitu nikmat pada penis dan sekaligus analku.

"Mbak, aku nggak kuat, akkhu... mau... keluar... Lepaskan Mbak, akkhh... " jeritku.

"Hm, sshhh... ahh... sabar sayang, nikmati ya say... biar kutelan cairanmu sayang,... ahh... sss... ekhhh..." desahnya dan kembali menelan penisku sambil jarinya semakin dalam masuk ke analku, ia masukkan dan keluarkan semakin cepat hingga aku semakin tinggi melayang-layang dalam alam kenikmatan. Ia mengulum, menjilat dan merangsek habis-habis.

Entah karena pengaruh film yang kami saksikan tadi atau rangsangan melihat Mbak Ina dalam baju tidurnya dan aksinya yang begitu hebat, aku tak kuasa menahan cairan kenikmatanku.

"Ougghhh... akhhhh... Mbaaakkkk... Inaaahhhh... akhhh nik...mat...," jeritku tatkala penisku dengan hebatnya menyemprotkan air mani ke dalam mulutnya. Aku terkejut karena dengan ganasnya Mbak Ina menelan seluruh penisku dan menelan cairanku, bahkan isapan bibirnya pada penisku begitu kencangnya hingga aku tak mampu menarik penisku keluar. Tangannya turut bekerja mengelus dan meremas kedua biji testisku. Kurasa tak setetes pun air maniku tersisa. Ia begitu menikmati kuluman mulutnya pada penisku dan kurasakan lidahnya terus bermain menggelitiki batang penis dan lubang pipisku. Denyutan penisku lebih sepuluh kali di dalam mulutnya.

Aku terengah-engah karena orgasme yang kualami. Dengan istriku sendiri belum pernah kurasakan kenikmatan demikian, karena seluruh pori-pori tubuhku seakan-akan turut merasakannya, bukan hanya penisku. Mbak Ina kembali menciumi bibirku dan kurasakan beberapa tetes cairanku sewaktu bibir dan lidah kami berpagutan.

Kupeluk dia sambil meredakan debur jantungku yang begitu kencang, aku bertanya padanya, "Mengapa... ?? Mengapa Mbak...?"

Kulihat ia memandangiku dengan lembut dan meletakkan telunjuknya di bibirku, "Ssstt, dengarkan kisahku sayang!" Kutatap matanya, kulihat di sana rasa sayang yang tulus. Ia melanjutkan, "Sejak kamu masuk ke perusahaan kita, sudah kuperhatikan bagaimana cara kamu memandangku. Walaupun tidak pernah kamu katakan, aku dapat membaca tatapan matamu. Tapi aku sadar, Gus, bahwa aku sudah bersuami dan punya anak, tak mungkin menikah denganmu. Dan aku sempat cemburu, waktu kamu menikah. Kamu ingat bahwa aku tidak mau hadir pada pesta pernikahanmu? Itu karena aku iri, istrimu mendapatkan pria sebaik kamu. Aku tidak berani menggodamu di kantor kita, sebab aku sadar statusku sudah bersuami dan teman-teman tahu bahwa aku bukan wanita penggoda. Apalagi kulihat kamu begitu sopan dan tidak pernah kudengar sikapmu yang buruk terhadap karyawati di perusahaan kita. Itu sebabnya mengapa waktu kita mendapat tugas bersama, kuminta naik kereta api agar dapat bersentuhan denganmu setidak-tidaknya beberapa jam. Kesempatan emas makin terbuka kurasa karena kamu mau menemaniku berbelanja dan nonton."

Tak kuasa berdiam diri, keluar pengakuanku, "Aku sudah lama mengagumi dan menyayangimu Mbak, tapi aku menyesal, sebab Mbak sudah menikah waktu kita bertemu. Aku juga tidak berani mengganggu Mbak, karena kudengar dari teman-teman, Mbak adalah istri yang sangat setia pada suami. Maafkan aku atas kejadian malam ini, Mbak..."

"Husshh," potongnya, "Kamu tidak perlu minta maaf, Gus, justru akulah yang menggodamu sehingga malam ini kita jadi begini. Aku cuma bikin alasan takut karena nonton film tadi dan minta kau temani supaya kita dapat bermesraan sekarang. Paling tidak ini saat-saat bahagia kita berdua. Kalau di Jakarta, tidak mungkin kita bisa melakukan hal ini."

Aku terdiam menyimak kata-katanya dan kembali gairahku bangkit manakala jari-jarinya bermain di dada dan perutku. "Ah, Mbak... aku... sayang kamu... ," bisikku perlahan di telinganya. "Sekarang giliranku memuaskanmu, ya Mbak sayang?" sambungku.

Ia tidak menjawab, hanya mengangguk sambil memejamkan mata.

Aku dalam keadaan masih telanjang menciumi rambutnya, keningnya, kedua kelopak matanya dan hidungnya. Pipinya tak luput dari kecupanku dan kembali bibir kami bertemu serta lidah kami bertautan. Lidahku masuk ke dalam mulutnya, mencari dan memilin lidahnya, bahkan air ludahku ia isap dengan liar saat lidahku menggelitik bagian atas rongga mulutnya. Di lain waktu, lidahnya masuk ke dalam mulutku menggelitik gigi geligiku dan lidahku. Mulut dan lidah kami terus saling mengulum dan membelit berbagi kenikmatan. Tangannya mengelus-elus kepala dan rambutku. Jari-jariku kumainkan di pipi dan lehernya.

Kuturunkan kepalaku, bibir dan lidahku menciumi lehernya yang jenjang dan turun ke pundaknya. Ia makin menggeliat sambil mulutnya terus mendesah. "Akhh... Gus, sayang... ah, terus Gus, oohh... teruskan dong Gus, ja... jangan berhenti!"

Aku mengambil napas memandangi wajahnya sambil jari-jariku mengusap pundaknya dan bermain ke belakang punggungnya melepas kaitan BH-nya. Ia makin merintih manakala tali kait BH-nya kulepas sambil menciumi ketiaknya yang bersih, lidahku kumainkan di situ dan merambat ke arah payudaranya yang begitu sekal, kenyal dan padat.

"Oww... luar biasa payudaramu, Mbak!" tak dapat kusembunyikan kekagumanku atas keindahan payudaranya. "Padahal Mbak sudah tidak berumur tiga puluhan lagi. Koq bisa masih begini kenyal ya Mbak? Seperti payudara gadis-gadis saja?" lanjutku.

"Ah, kau bisa saja, Gus! Aku kan sudah tua?" bantahnya sambil memainkan jari-jarinya mengelus dadaku.

"Kata siapa Mbak sudah tua? Nyatanya payudara Mbak masih lebih bagus daripada punya Waty istriku," kataku lagi memuji.

"Gombal! Rayuan kuno Gus!" katanya lagi sambil menjentik pipiku dengan jarinya yang lentik.

Aku menghentikan elusanku sambil mengamati payudaranya yang tak begitu besar, tetapi begitu sekal, kenyal, sehingga sangat nikmat dielus dan diremas. Ukurannya tidak terlalu besar, mungkin 34C, tetapi dengan putingnya yang begitu runcing bagaikan stupa candi, membuatku sangat terangsang untuk mengecupnya.

"Ada apa sih, Gus? Koq jadi melongo gitu?" tanyanya, entah heran atau bangga, karena melihat sikapku yang begitu mengagumi keindahan payudaranya.

"Ini lho Mbak, puting payudaramu sangat cantik. Aku jadi ingat stupa Candi Borobodur. Bagian atas putingmu begitu runcing, tetapi di bagian bawahnya semakin melebar, sehingga tidak sama diameternya dengan ujung putingmu," kataku lagi sembari mengelus lembut putingnya dan menjilati ujungnya kemudian turun ke belahan payudaranya. Benar-benar indah. Seolah-olah ada dua gunung yang bertindihan melihat bentuk payudara dan putingnya. Gunung pertama berujung pada putingnya, sedangkan gunung yang lebih besar menyangga putingnya dan membentuk lembah indah ketika bertemu dengan bagian lereng payudaranya yang lain.

"Ougghhh... Guuusss... ohhh... enak... yah... terus, terusss, sayang..." rintihnya saat kukecup dan kulumat putingnya dengan lidah dan bibirku tanpa menyentuh gunung payudaranya. Ia semakin menggeliat-geliat saat bibirku memasukkan putingnya ke mulutku dan mengecupnya dengan lembut, lama kelamaan makin kuat kemudian lembut lagi, demikian seterusnya. Apalagi kedua tanganku mulai turut aktif meremas-remas kedua payudaranya sambil mulutku tak henti-hentinya menjilat dan mengisap putingnya secara bergantian. Jari-jarinya mulai mencari-cari penisku dan mengusap-usapnya lagi, tetapi kutepis dengan halus sambil berkata, "Sabar sayang, tadi kan sudah Mbak puasi aku, sekarang giliranku dulu ya say..."

"Ahh... sshhh... ihhh... kau menyiksaku Gus... ohh...nikmatnya," erangnya sambil menghempaskan kepalanya ke kanan kiri tak beraturan. "Owwhh... ahhh...," desahannya makin kuat waktu kedua kedua buah dadanya kudekatkan satu sama lain dan kedua putingnya kumasukkan ke mulutku serta kuisap secara berbarengan. Beberapa menit aku melakukan itu sambil lututku menekan-nekan dengan ritme yang beraturan pada kemaluannya yang telah basah walaupun masih dibalut celana dalam. Dengan setengah berlutut di samping tubuhnya yang menggeliat-geliat menahan nikmat, aku terus memainkan bibir, lidah dan tanganku di puting dan kedua payudaranya dan sebelah tanganku turun ke bagian bawah perutnya masuk ke balik celana dalamnya yang semakin basah menelusuri rambut-rambut kemaluannya dan mengusap-usap vaginanya yang membanjir. Begitu kutemukan sesuatu sebesar biji kacang pada bagian atas vaginanya yang ternyata adalah klitorisnya, aku melakukan usapan lembut dan perlahan-lahan menjepitnya dengan dua jari. Gerakan tersebut membuatnya makin meracau dan menggeliat.

"Ya... ya... terusss... ya... sshh... itu Guss..., jangan berhenti... ayo say... gerakkan lebih cepat tanganmu pada kelentitku. Oookkhhhh... ekkhhh... uhhgg..." ia memberikan perintah padaku sambil menggeliat-geliat semakin tak menentu.

Mendengar permintaannya itu, aku malah berdiam diri sejenak, hingga ia tersentak, "Oohh, ada apa... Gus? Jangan berhenti, cepaattt... aku sudah hampir sampai... ohhh jangan siksa akuuuu..." rintihnya lirih.

Aku tidak menyahut, tetapi kembali kubenamkan wajahku ke dadanya mencium, menjilat dan mengisap puting dan kedua payudaranya. Putingnya kuisap kuat-kuat sambil menekankan mulutku ke payudaranya. Bukannya menolak, ia justru makin membusungkan dadanya ke atas hingga kedua payudaranya membuatku semakin tak bisa bernapas. Kumasukkan putingnya bergantian ke dalam mulutku sambil mengisap buah dadanya sebanyak yang dapat kumasukkan ke mulutku. "Ooooohhhhhhh... akkkhhh... ssshh... kamu pinnn... tarrr... Gus!" erangnya. Jari-jariku yang bermain di klitorisnya terus melakukan sentuhan dan tekanan yang semakin cepat, sesekali telunjukku kumasukkan ke liang vaginanya hingga cairannya semakin banyak merembes. Kuusap-usap klitorisnya semakin cepat dan makin cepat hingga pinggulnya dihentak-hentakkannya ke atas memberikan suguhan pemandangan yang indah bagiku tentang pesona kenikmatan seorang wanita.

"Ahkhh... ak... akkhu... mmmmaauu... keluar Gus... sayaanggg... sshhh... eekhh... ooohhhhh...!" jeritnya panjang. Kedua belah pahanya menjepit kedua kakiku dengan eratnya sedangkan tangan kananku dijepitnya di vaginanya yang membanjir dengan cairan kenikmatan, kedua tangannya memeluk punggungku sambil mulutnya mencari-cari mulutku dan menciuminya dengan ganas bahkan dengan lihaynya diisap dan digigitnya lembut lidahku.

Ia masih terengah-engah saat berkata, "Ohhh... kau begitu pandai memanjakanku, Gus." Aku tersenyum sambil mengusap rambut-rambut kemaluannya yang basah kuyup. "Aku masih pakai celana pun sudah kau buat orgasme," sambungnya.

"Sayangku, apa yang kulakukan hanyalah merespon rasa cintamu padaku," ujarku lembut sambil membelai-belai payudaranya dan tubuhnya yang telanjang. "Ngomong-ngomong, koq payudaramu masih sekal banget, Mbak, diapain sih koq tidak kendor walaupun sudah punya dua anak dan kawin begitu lama?" celetukku penasaran.

"Aku kan tidak pernah menyusui anak-anakku, Gus, karena ASI-ku tidak banyak. Lalu karena dokter menyarankan susu kaleng, yah jadi keterusan, nggak menyusui. Selama ini cuma suamikulah yang menyusu padaku, dan terakhir ini, yah kamu..." katanya sambil memijat hidungku lembut. "Emang kenapa sih nanya-nanyain itu?

"Soalnya waktu memesrai buah dada Mbak, tidak seperti buah dada wanita yang sudah punya anak. Kayak payudara gadis aja sih? Dikasih semalaman menjilatinya pun mau aku" kataku.

"Genit kamu, Gus... hi... hi... hi... " tawanya.

"Berarti aku ini orang kedua yang pernah mencicipi buah dadamu, ya?" kataku lagi. Setelah terdiam beberapa saat, kutanya dia, "Apakah siap untuk permainan yang sebenarnya, Mbak Ina sayang?" aku bertanya sambil merabai pahanya dan berusaha membuka celana dalamnya.

Ia menatapku dengan tatapan sayu tapi penuh rasa sayang, "Gus, aku sangat ingin melakukan itu denganmu, tapi... tapi... ," ia tak melanjutkan kalimatnya.

"Mengapa sayang? Apakah Mbak takut hamil akibat perbuatan kita?" tanyaku.

"Bukan itu, Gus! Di usiaku sekarang tentu sudah sulit hamil bagiku, apalagi aku pakai spiral. Yang kutakutkan adalah jika hubungan kita ini membuatku lupa akan suamiku. Ia begitu baik, setia dan percaya pada isterinya, tapi aku telah mengkhianati cintanya dan janji perkawinan kami," lanjutnya sambil menatapku dengan mata berkaca-kaca. Oh, ternyata wanita ini bukanlah tipe penggoda, bukan pula tipe pengkhianat rumah tangga, aku semakin mengagumi pribadinya, tetapi aku masih berusaha menggodanya.

"Kalau begitu, terserah Mbak sajalah. Aku tidak mau memaksa apalagi memperkosamu, sebab cintaku pada Mbak tidak mengijinkan pemaksaan," kataku. Tapi aku sendiri bingung apakah ucapanku itu karena menyetujui pendapatnya atau karena kesal oleh penolakannya.

Ia mengecup pipi dan bibirku sambil memelukku makin erat, kulihat air matanya menitik dari celah-celah pelupuk matanya, ia berkata, "Gus sayang, jangan salah sangka. Aku sangat sayang pada kamu, tetapi aku sudah bersuami dan punya anak, kamu pun sudah beristeri. Jangan sampai kita melakukan persetubuhan yang bisa membuat kita lupa akan keluarga kita."

"Lalu, yang kita lakukan tadi apa, Mbak? Bukankah itu sudah termasuk pengkhianatan?" tangkisku. "Kalau memang Mbak tidak suka, mengapa Mbak merencanakan semua ini?" aku makin tajam mendakwanya. Ia makin terisak-isak pilu sehingga aku merasa menyesal telah membuatnya merasa begitu bersalah, padahal aku pun ikut andil dalam kejadian ini. Aku berdiam diri sambil mengusap-usap rambut dan wajahnya serta punggungnya dengan lembut.

Beberapa saat kemudian, kulihat ia mengusap air matanya dan dirinya sudah semakin tenang. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, "Gus, aku pernah baca artikel, bahwa anal-sex merupakan salah satu alternatif hubungan seks. Kalau kamu tidak keberatan, lakukanlah hal itu walaupun aku sendiri belum pernah melakukannya dengan orang lain bahkan suamiku."

Aku terperanjat mendengar bisikannya, tapi merasa tergoda mencoba hal itu, apalagi dengan isteriku sendiri pun hal itu belum pernah kulakukan. "Entah bagaimana rasanya?" pikirku sambil membayangkan andaikan kami melakukannya sekarang.


Sekonyong-konyong ia membuka celana dalamnya dan sisa gaun yang melekat di tubuhnya dan berbaring terlentang. "Ayo Gus, setubuhi aku lewat analku agar kau dan aku bersatu malaupun tidak dengan cara yang sesungguhnya," ajaknya.

Birahiku bangkit melihat tubuhnya yang terpampang indah di hadapanku. Perlahan kucium bibirnya, berpagutan dengan berbagai variasi dan saling memilin lidah. Turun ke payudara dan putingnya yang kembali tegang, perut dan pusarnya kembali menjadi sasaran lidah dan bibirku, kemudian jari-jariku menjelajahi rambut kemaluannya yang tipis tapi dicukur dengan rapi sehingga bagian seputar labia vaginanya betul-betul bersih. Bibirku terus turun menjelajahi pangkal pahanya, melakukan isapan dan jilatan lembut hingga ia menggeliat-geliat sambil mendesah. Tibalah saatnya kuperhatikan klitorisnya yang makin membesar di bagian depan vaginanya. Kusentuh dengan lidahku hingga ia terpekik ,"Ahhh... kau apakan aku sayang?" Aku tidak menjawab karena yakin ia baik-baik saja dan itu merupakan permintaan halus agar aku meneruskan aktivitasku.

Klitorisnya kujilat tanpa mencium labia vaginanya sama sekali. Ia terus meracau sambil kedua tangannya menekan belakang kepalaku hingga hidung dan mulutku tepat berada di vaginanya yang sudah banjir. Bibirku menjilati dan sesekali mengisap labianya. Dan ketika klitorisnya kujilat dan kumasukkan ke mulutku sambil kuhisap lembut dan makin kuat, ia tak kuasa menahan gairahnya, pantatnya terangkat ke atas, tapi kedua tangannya tetap berusaha menekan kepalaku agar tetap berada di kemaluannya. Jari-jariku meremas-remas kedua bongkah pantatnya dan sesekali satu tangan bergantian meremas payudaranya. Geliatnya makin tak beraturan, bahkan ia makin kuat menghempas-hempaskan pinggul dan pantatnya ke sana ke mari, tetapi aku tidak memberikan kesempatan untuk melepaskan diri, karena aku tahu, justru hal itulah yang ia inginkan. Ke mana pinggulnya bergerak, ke situ wajahku ikut sambil bibir dan lidahku mencium, menjilat dan mengisap seluruh organ kemaluannya. Cairan vaginanya kembali membanjir dan entah sudah berapa banyak kutelan masuk dalam mulutku. Rasanya gurih, sedikit asin, tetapi aromanya begitu sedap dan tidak berbau amis, mungkin karena ia rajin merawat bagian tubuhnya itu. Rintihannya makin tak beraturan saat dua jari tengah dan telunjuk tangan kanan kumasukkan pelan-pelan ke vaginanya sambil terus melakukan aksi dengan bibir dan lidahku, terlebih saat jari tengah tangan kiri kumasukkan ke lubang analnya setelah kuolesi ludah dan cairan vaginanya.

"Ahhh... Guuussss... aaa... kkhuuuu... ahh... ohhh... nikmatnya... Shhsshh... ahh... " suaranya tidak lagi keras, tetapi lebih merupakan desisan dan rintihan. "Ahhkhhh... lebih cepat Gusss sayang... !" ia memohon. Kupercepat aksiku dan kurasakan betapa bagian dalam vaginanya meremas-remas jariku dan analnya pun memberikan jepitan yang luar biasa pada jari tengah tangan kiriku. Tanpa memberinya peluang untuk melawan, kulakukan gerakan semakin cepat, hingga ia meronta-ronta, menggelinjang-gelinjang dengan rambut yang tak beraturan dan bola matanya membeliak menahan kenikmatan yang sudah di ambang pintu.

Dengan satu hentakan, kulakukan gerakan bersamaan ke vagina dan analnya sambil mengisap klitorisnya dengan cepat tetapi lembut. "Aaaakhhhhhh... aku... keluar Gus!!!" jeritnya sambil mencakar pundak dan punggungku. Kulihat di ujung matanya menetes air mata. Kulepaskan jari-jariku dari bagian bawah tubuhnya dan kurengkuh tubuhnya sambil menciumi matanya, kujilati air matanya sambil membelai-belai rambutnya. "Kenapa Mbak? Apakah aku menyakitimu?" tanyaku sambil memeluk dirinya.

"Ohhh... sayang. Agusku sayang, aku begitu bahagia. Begitu luar biasa kenikmatan yang kau berikan. Suamiku sendiri belum pernah memperlakukan diriku sepertimu. Terima kasih sayang," bisiknya sambil mengecup leher dan bibirku.

Orgasme yang kedua kalinya membuat Mbak Ina terkapar tanpa seutas benang pun melekat pada tubuhnya. Kami berbaring terlentang sambil berpegangan dan meremas tangan. Aku merasa agak lelah karena sudah memuaskannya sedemikian rupa. Tak sadar aku tertidur. Beberapa saat kemudian kurasakan elusan pada dada, perut dan pahaku. Penisku yang sudah terkulai kembali bangun akibat elusan jari-jari lembut pada dirinya. Mataku kubuka perlahan dan kulihat Mbak Ina sudah berlutut di samping tubuhku sambil merabai tubuhku. "Luar biasa wanita ini. Masih sanggup bermain lagi rupanya?" kataku dalam hati.

Aku pura-pura masih tertidur, tapi waktu kurasakan kepala penisku dikulum oleh mulut lembut Mbak Ina, aku tak kuasa lagi, erangan nikmat pun kembali kulantunkan. "Ahhhh, mau apa lagi Mbak?" Tanganku mengelus-elus rambutnya yang tergerai di perut dan dadaku.

"Aku tak mau stand kita masih 1-2, belum 2-2. Aku mau memuaskanmu sekali lagi," katanya.

"Maksud Mbak gimana?" tanyaku berlagak pilon, tetapi senang juga dengan perlakuannya.

"Tadi kan sudah kubilang supaya kita main anal, koq kau tidak lakukan?" desaknya.

"Apa nggak sakit nanti Mbak? Aku sih mau-mau saja, apalagi kata orang enak banget rasanya. Pengen sih nyobain," kataku menggoda.

"Emang istrimu belum pernah kau gituin?" tanyanya.

Aku tidak menjawab, malah balik bertanya, "Mbak sendiri apa pernah melakukannya dengan suami Mbak?"

"Suamiku sih mau menang sendiri aja. Baru sebentar main, sudah keluar. Aku sering dibiarkan mencari kenikmatan sendiri. Jangankan main anal, main biasa aja ia sering kewalahan. Satu ronde saja sudah terkapar," gumamnya.

"Wah, nasib kita sama dong, Mbak" kataku. "Istriku pun masih kuno. Nggak kayak Mbak ini. Seringkali aku yang meminta baru ia mau berhubungan badan. Kalau aku diam aja, ya dia tidak pernah mau minta kusetubuhi. Padahal kami laki-laki pun senang jika istri meminta, bukan kami saja yang minta, iya nggak? Posisi kami pun gitu-gitu aja, tidak mau coba variasi macem-macem." Entah mengapa aku begitu terbuka padanya tentang rahasia di balik ranjang perkawinanku.

"Kasihan kamu ya!" timpalnya, "Melihat bentuk tubuhmu, nafsu seks-mu pasti sangat hebat, tapi dengan istri yang begitu, bisa-bisa jajan terus dong kamu!" katanya mencoba mengorek informasi.

"Aku tak berani jajan, Mbak. Takut kena penyakit kelamin," elakku. "Paling-paling kalau sudah tidak tahan, yah main "swalayan" alias pake sabun di kamar mandi. Malah dengan perempuan lain, yah baru dengan Mbak inilah," ungkapku jujur.

"Masak sih? Apa iya ada lelaki jujur di abad ini?" tukas Mbak Ina sambil mencubit pipiku.

"Buat apa aku bohong Mbak, apalagi kepada wanita yang kusayangi seperti Mbak ini," kataku.

"Iya deh, aku percaya kata-katamu," ia menutup percakapan kami sambil kembali memelukku dengan tubuhnya di atasku.

Himpitan payudaranya membuatku kembali terangsang, apalagi jari-jarinya bermain di sekitar paha dan mulai merabai penis dan testisku kembali. Aku berbisik padanya, "Mbak, sudah siap main anal-nya? Aku jadi kepengen nih atas ajakan Mbak tadi?"

"Sudah siap sejak tadi, sayang, tapi kamunya malah bikin aku kesetanan dengan orgasmeku tadi," jawabnya.

Kembali kuciumi seluruh tubuhnya, bahkan hingga telapak kaki dan jari-jari kakinya, hingga ia kembali mendesah, merintih dan menjerit kecil di kamar hotel itu. Dengan cairan vaginanya yang kembali membanjir, kubasahi lubang analnya dan kuperhatikan bentuknya yang begitu mungil tetapi geliatnya persis mpot-mpotan ayam seperti pernah kubaca di buku tentang seksologi. Aku tak tahan memandanginya terus, kujilati analnya dan pelan-pelan kumasukkan satu jari ke dalam. Mbak Ina mengerang. Tubuhnya kubalikkan dengan pantat di atas, sehingga dengan posisi menungging dapat kulihat lebih jelas bentuknya. Ia makin merintih waktu jariku kumasukkan lebih dalam.

"Ayo sayang, sekarang... aku sudah tak tahan... " desahnya.

Kutempatkan pinggulku tepat di belakang kedua belah pantatnya yang sintal dan perlahan-lahan kepala penis kugesekkan ke lubang analnya. Ia mendesah semakin lirih. Kepala penisku kudesakkan, mula-mula agak susah karena lubangnya begitu kecil. Namun begitu kuolesi lagi dengan ludahku dan cairan vaginanya, sudah semakin mudah dimasuki. Kepala penisku pun masuk dengan sukses. "Aukhhh... sakittt sayang...," desisnya. Aku menghentikan dorongan penisku dan berniat menariknya, tetapi ia justru menarik kedua belah pahaku kembali meneruskan kegiatanku. "Oohhh, enak banget penismu sayang... ," rintihnya.

Aku berdiam diri sejenak, lalu kuteruskan aksiku mendorong penis makin dalam memasuki analnya. Setengah penisku sudah masuk, ia agak mendongakkan kepala seakan menahan sakit, tetapi gerakannya pantatnya malah mundur pantatnya agar penisku masuk lebih dalam lagi. Setelah penisku masuk 2/3, kutarik mundur, kumajukan lagi, demikian seterusnya. Dan kalau kurasa agak susah masuk, kembali kuberikan ludahku untuk melincinkan jalan masuk penis ke dalam analnya. Mbak Ina merintih-rintih dengan nikmat, apalagi tangan kiriku memainkan vaginanya dari depan dan tangan kananku meraih payudaranya, sehingga ia merasakan kenikmatan yang begitu luar biasa.

"Oughhh... Guusss, ssshhh... akhhh," desisnya seperti orang kepedasan akibat rasa nikmat yang tak terkatakan. "Terusss... okhh... terrussskaaan... sayyyang... ahhhhh... "

Rintihannya semakin kuat dan suatu ketika ia menjerit-jerit sambil menghentakkan pantatnya ke belakang hingga tak ayal lagi seluruh penisku menghunjam ke dalam analnya. Akibatnya sangat luar biasa. Aku begitu terpukau dengan gerakannya dan melakukan reaksi berupa gerakan cepat dan sesekali memutar dalam analnya.

Mbak Ina merintih-rintih. Kedua tanganku terus bermain di vagina dan payudaranya, apalagi waktu dadaku kudekatkan merapat ke punggungnya sambil merabai payudara dan membelai serta memelintir putingnya, ia makin kuat meronta-ronta tapi tidak berusaha melepaskan hunjamanku pada analnya. Gerakannya makin liar dan akhirnya ia tidak lagi menungging, tetapi tengkurap di ranjang tetapi dengan tanganku masih meremas payudara dan vaginanya dan hebatnya, dengan posisi ini, kurasakan penisku mendapatkan lumatan yang begitu dahsyat dalam analnya.

"Ayo sayang, ahhh... ayyooo... keluarin spermamu di analku, ohhhh... tidak usah dikeluarkan di luar," rintihnya. "Akkhhh... sayang... oughhh... nik... mattt... , uhhhh... ohhh... aku keluar lagi sayangggg... aaaakkhhhh," jeritnya.

Kurasakan betapa kuat jepitan otot-otot analnya pada penisku, sensasi yang luar biasa merasuki diriku dan dengan hentakan yang kuat pada analnya, penisku menyemprotkan cairan kenikmatan di dalam liang analnya. Denyutan vaginanya yang demikian basah pada jari-jari tanganku bersaing dengan remasan otot-otot di liang analnya.

Aku terpekik merasakan kenikmatan yang begitu dahsyat, "Aku... ohhh... aku... juga keluar, Mbak Ina... ooohhh... sayyy... sayang... akhh... ," bisikku di telinga Mbak Ina saat menjatuhkan tubuhku di atas tubuhnya sembari menggigit pundaknya dengan gemas dengan penisku masih tetap berada di analnya. Kunikmati denyutan demi denyutan pada liang vaginanya dan analnya yang menjepit penisku. Kuangkat perlahan-lahan penisku keluar dari analnya dan kuperhatikan beberapa tetesan cairan kenikmatanku turut keluar dari analnya membasahi pangkal pahanya.

"Penismu enak banget say...," desahnya di telingaku sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arahku.

"Enak mana dibanding suami Mbak?" godaku.

"Enakan punyamu Gus!"

"Emang penisku lebih besar dari punya suami Mbak?" tanyaku dengan rasa ingin tahu yang besar.

"Ukurannya sih lebih besar dan lebih panjang dari punyamu, Gus. Tapi apa artinya kalau tidak bisa menggunakannya dengan baik? Enakan yang biasa-biasa aja kayak punyamu, tapi begitu perkasa memuaskan wanitanya," katanya sambil meraba penisku yang mulai melembek. "Lho, bukannya kalau lebih besar pasti lebih enak, Mbak?" Ada sedikit rasa iri padaku mendengar pengakuannya bahwa penis suaminya lebih besar daripada penisku.

"Yaah, itu kan kata orang. Aku yang menjadi istri lebih sepuluh tahun, bisa merasakan orgasme sekali sebulan pun sudah untung. Apalagi akhir-akhir ini seringkali cuma sekali seminggu berhubungan badan, itu pun kebanyakan karena kuminta," paparnya. "Tahu nggak Gus, walaupun kata orang, gairah wanita makin menurun pada usia empat puluh menjelang menopause, tapi aku sendiri merasa seolah-olah gairah masa mudaku kembali lagi. Entah mengapa bisa begitu? Aku sendiri heran tuh," lanjutnya.

"Kan ada aku, Mbak? Kalau butuh kenikmatan, aku tidak akan menolak Mbak," rayuku.

"Gus, Gus... kamu ternyata pandai memuaskan dan menyenangkan wanita," katanya menanggapi rayuanku, "Tapi jangan lupa, kalau di Jakarta, mana mungkin kita begini? Bisa-bisa rumah tangga kita masing-masing hancur, iya nggak?"

Aku terdiam menyimak kata-katanya sambil mengelus-elus rambutnya di keningnya dan yang tergerai di dadaku. "Ya, benar Mbak. Apalagi reputasi Mbak begitu bagus selama ini. Bisa-bisa semuanya jadi tak berarti kalau perselingkuhan kita ketahuan ya?"

"Benar Gus," jawabnya, "Tapi, jangan biarkan aku sendiri tidur kalau tugas berdua seperti ini lagi keluar kota ya?" pintanya.

"Emang masih boleh nanti-nanti, Mbak? Apa nggak takut ketahuan kenalan kita jika kebetulan ketemu?" tukasku.

"Ah, kalau lagi tugas gini, kita tetap aja pesan dua kamar terpisah, tapi kalau malam tidurnya bareng," imbuhnya membuat hatiku berbunga-bunga. "Berarti masih ada kesempatan lain untuk bermesraan dengannya, walaupun mungkin ia takkan pernah mau melakukan hubungan badan lewat vaginanya," pikirku nakal.

"Duhh, aku senang banget mendengar kata-kata Mbak," kataku. "Lebih enak tidur berdua gini, bisa makin fresh kalau balik ke Jakarta ya?"

Ia tidak menjawab, hanya tersenyum dan memainkan jari-jarinya di dadaku. Aku berbaring terlentang di sebelahnya dan ia berbaring lelah dengan kepalanya di dadaku sambil mengusap-usap perut dan penisku. Matanya terpejam dan iapun tertidur. Aku pun tak kuasa menahan kelopak mataku, tapi sebelum tertidur dalam posisi telanjang, masih sempat kutoleh jam dinding menunjukkan angka 4.

Waktu terbangun, aku merasa tubuh Mbak Ina masih tergolek di atas tubuhku. Tangannya masih memegangi penisku yang sudah layu dengan sisa-sisa sperma yang telah mengering. Kutengok jam telah menunjukkan pukul 7 pagi, berarti aku tertidur selama 3 jam. Aku ingin bangun dan berusaha memindahkan tubuhnya ke sampingku, tetapi tiba-tiba Mbak Ina meraih pinggangku sehingga tubuhku rebah di atas tubuhnya. Payudaranya kurasa kenyal, liat, belum kendor, menekan dadaku, apalagi kutoleh putingnya sudah tegang lagi. "Ah... kuat benar nafsu wanita ini, padahal dalam keseharian ia tampil begitu sopan, tidak nampak binal sama sekali," batinku.

Dengan mata masih terpejam, ia menciumi bibirku dan mengusap-usap punggungku sambil berkata, "Sayangku, betapa nikmat kebersamaan kita tadi." Aku menggulirkan tubuhku ke sampingnya dan memandangi wajahnya dengan memiringkan tubuh, "Ya Mbak, aku merasa seperti musafir kehausan yang baru menemukan oase," sambutku sambil membelai-belai anak-anak rambut di keningnya.

"Gusss," bisiknya lembut di telingaku sambil menciumi belakang telingaku hingga desah napasnya terasa menggelitik membuatku geli tapi nikmat. "Aku mau sarapan... "

"Ayo Mbak, apa kupesankan breakfast by phone?" timpalku.

"Bukan sarapan itu maksudku, sayang," desahnya sambil mencubiti kedua putingku bergantian, "Aku mau mengulangi kemesraan kita yang tadi... please!" sahutnya menghiba.

Gairahku bergolak kembali, apalagi ia langsung bergerak ke arah selangkanganku dan menempatkan tubuhnya di atas tubuhku dengan posisi terbalik. Kepalanya ia tempatkan di pangkal pahaku, sedangkan pahanya mencari tempat di atas wajahku. Jari-jari tangannya meraih penisku, dengan bibir dan lidahnya ia mengecup kepala dan leher penisku, kemudian menjilatinya seperti anak kecil yang kesenangan menikmati es krim. Aku tak kuasa menolakkan tubuhnya, bahkan mulai menikmati posisi 69 yang ia tawarkan. Vaginanya mulai terasa basah lagi sewaktu bibir dan lidahku menyeruak menjilati bibir-bibir vaginanya yang merah merona. Kedua tanganku kulingkarkan ke atas hingga tepat memegang kedua belahan pantatnya. Remasan demi remasan di pantatnya membuatnya mengerang, "Ahhh... nikmatnya say."

Lidahku makin gesit bermain menjilati kedua labia vaginanya, bahkan bibirku mulai mengisap secara bergantian bibir-bibir yang menyimpan kenikmatan itu. Saat kujilat klitorisnya, pahanya nampak bergetar menahan nikmat, apalagi saat jari telunjukku kumasukkan lagi menerobos analnya, ia semakin merintih bahkan sesekali menjerit. Tetapi ia tidak berusaha mengangkat pantatnya dari jilatan dan hisapanku; bahkan ia semakin kuat menekan pantatnya ke bawah hingga kurasakan hidung dan mulutku terbenam pada vaginanya yang merekah. "Ohhh... Agusss..., terusss... teruskan sayangkuuuu...," desahnya sambil meliuk-liukkan pinggulnya. "Sekarang, sekarang masukkan lagi penismu di analku, sayanggghhh... ooougghh ... ," rintihnya sambil berbalik terlentang dan membuka kedua pahanya lebar-lebar. Ohhh, sungguh fantastis, dibawah cahaya mentari yang masuk lewat gordijn jendela kamar hotel, kulihat betapa indah bentuk vaginanya yang telah kumesrai semalam.

Aku berlutut di antara kedua pahanya. Ia sudah menggelepar-gelepar seperti ikan terlempar dari air ke daratan, karena jari-jari tanganku terus bermain di klitoris dan vaginanya. Kedua tangannya kini meremas-remas payudara dan putingnya, matanya membeliak karena kenikmatan yang ia rasakan. Kedua kakinya kutarik lembut dan kuletakkan ke atas bahuku sambil mendekatkan lutut makin rapat ke pangkal pahanya. Jari-jariku mengait-ngait klitoris dan vaginanya dan cairan kenikmatan yang dihasilkan rongga vaginanya kuusapkan di analnya, juga air ludahku untuk menambah licinnya penetrasi penisku, bahkan kumasukkan jari telunjuk kanan ke dalamnya. Ia mengerang sambil terus meremas-remas dan mempermainkan payudaranya sendiri. Aku terpukau melihat gayanya. Ternyata Mbak Ina yang begitu tenang dalam penampilan di kantor, menyimpan kekuatan seks yang sangat hebat. Gayanya mengingatkanku pada pola permainan bintang film porno.

Setelah kurasa cairan vaginanya bercampur air ludahku telah cukup sebagai pelumas untuk memberi jalan bagi penisku, kepala penis kutempatkan di mulut analnya, mengulas-ulasnya beberapa saat, dan kumasukkan pelan-pelan sambil memperbaiki letak kakinya di pundakku. "Akhh... sshhhh ... ougghhh... pelan-pelan sayanggghhh...akhhh," rintihnya dan kedua tangannya seakan-akan ingin menolakkan pahaku, tetapi waktu kutarik mundur penisku dari analnya, kedua tangannya justru meraih pahaku untuk semakin rapat ke pahanya. Aku kembali melakukan tekanan dengan tenaga yang makin meninggi, walaupun belum berani memasuk-keluarkan penis dengan gerakan cepat di analnya, khawatir terjadi iritasi pada analnya.

"Terus... ohhhh... te...russs...kan... sayyyanggg... akhhhhhh," mulutnya mendesis sambil lidahnya ia julurkan keluar mulutnya dan menjilati bibirnya sendiri. Semakin lengkap penampilannya kulihat sebagai bintang seks. Penisku sudah lebih setengah bermain di analnya, tetapi ia justru makin memajukan pahanya agar penisku masuk lebih dalam lagi. Kedua tangannya meraih kedua pahaku agar lebih rapat lagi ke pahanya. Dan waktu penisku masuk seluruhnya, tubuhnya terasa mengejang, sehingga aku sempat kaget dan menghentikan gerakanku.

"Ada apa, Mbak? Apakah aku menyakitimu?" tanyaku lembut.

"Ohhh... tidak, tidak sayang... Teruskan, teruskan... akkhhh... enn...nak sayang..." ia merintih sambil menghempaskan kepalanya ke kanan kiri. Tangannya bergantian bermain di payudaranya dan sesekali meremas-remas sprei ranjang.

Kedua kakinya sudah hampir tegak lurus terhadap tubuhnya, berjuntai di pundakku. Kupercepat gerakan penis di analnya sambil jari-jariku kembali merangsang klitoris dan vaginanya, bahkan dua jariku kumasukkan ke dalam vaginanya, hingga ia terpekik.

"Gussss!!! Ahhh... nikmatttt sayyy... " rintihannya. Suara kecipak penisku beradu dengan analnya dan jari-jariku masuk keluar vaginanya melantunkan irama yang sangat nikmat untuk didengar. Gerakan kami semakin liar dan tak beraturan. Rintihan kami berdua bercampur bunyi kelamin kami. Penisku makin cepat kuhunjamkan ke analnya hingga terasa ada jepitan yang begitu kuat di kepala penisku. "Ahhh... koq rasanya seperti vagina saja jadinya?" pikirku.

"Ayo say... goyang... goyang yang kuat," katanya sambil menikmati gerakan pantatku yang tidak lagi hanya maju mundur, tetapi juga menggunakan gerakan ngebor. Tanganku tidak lagi hanya bermain di vagina dan klitorisnya, tetapi juga meremas payudara dan menarik-narik dan memelintir putingnya hingga nampak warnanya semakin merah akibat jamahan dan jepitan jari-jariku. Keringatku tak kurasakan lagi mengucur dan menetes ke perutnya. Begitu pula keringat Mbak Ina telah membasahi tubuhnya membuatku semakin terangsang melihat payudara, perut dan pahanya yang nampak seakan-akan bercahaya.

"Akhhh... Gus... sayaaannggg... akkkkhu... keluarrrr... arrhggg..." jeritnya sambil menghempaskan pantatnya makin dalam hingga seluruh penisku ditelan analnya dan kedua kakinya menjepit kepalaku dengan kuatnya. Kurasakan betapa otot-otot vagina dan analnya berdenyut-denyut akibat orgasme yang sudah melanda dirinya. Mbak Ina terengah-engah.

"Okhhh... Mbak, tahannn... biar bareng denganku," pintaku.

"Oougg... sshhh... ahhh... aku sudah tidak kuatttt... oooooohhhh Gusss..." teriaknya membahana dan kurasakan cairan vaginanya begitu banyak membanjir membasahi jari-jariku dan jepitan analnya menahan penisku hingga tak bisa kutarik mundur. Aku pun mengerang sambil memeluk kedua kakinya di dadaku dan merasakan penisku berdenyut-denyut semakin kuat, pertanda akan mencapai klimaks.

"Mbaakkkk... ohhhh sayangkuuu... " gumamku sambil menikmati puncak kenikmatan bersama dirinya. Dengan cepat kurebahkan dia dan menarik penisku dari analnya lalu dengan lahap melumat vaginanya dan menyedot cairannya yang membanjir hingga menetes ke sela-sela pahanya. Ia menggeliat-geliat geli merasakan bibir dan lidahku menyedot cairan vaginanya dengan sangat bernafsu. Sprei di ranjangnya sudah acak-acakan akibat permainan panas kami berdua yang begitu menggebu-gebu.

Akhirnya, kami berdua berbaring bersisian sambil menenangkan diri, hingga lambat laun napas kami kembali normal. Ia mengambil handuk kecil dan melap peluh yang ada di tubuhku barulah kemudian ia sendiri mengeringkan tubuhnya dari keringatnya. Kami terlentang berdua sambil menatap langit-langit kamar hotel dengan tangan saling menggenggam.

Setelah itu kami mandi berduaan di bathtub. Saling menyabuni satu sama lain. Ia menolak halus waktu kuelus-elus payudara dan vaginanya dengan sabun sambil merangsangnya kembali. "Sudah Gus, aku capek... ntar lagi deh kalau mau... " Kami berdua keluar kamar mandi. Sambil memandanginya berpakaian dan berdandan, aku memesan makanan diantarkan ke kamar. Ia mengenakan celana pendek dan baju you can see tanpa mengenakan BH.

Kami makan berdua sambil menikmati siaran televisi. Jam sudah menunjukkan pukul 10. Aku pamit ke kamarku, walaupun ia merengek mau mencegah kepergianku. Saat di kamar, telepon berdering-dering terus begitu juga ponselku, tetapi waktu kulihat nomor ponselnya yang memanggil, sengaja tak kujawab. Lima belas menit kemudian aku kembali ke kamarnya dan mengetuk. Pintu kamarnya terbuka dan kulihat wajahnya cemberut, "Kenapa sih tidak mau jawab teleponku?" tanyanya sambil mencubit lengan atasku dengan gemas.

"Addduhhh, sakit Mbak," jeritku sambil menutup pintu di belakang kami. Ia menarik tanganku dan mendorongku hingga rebah ke atas ranjangnya. Lalu tubuhnya jatuh menimpaku tanpa dapat kucegah. Payudaranya yang kenyal menekan dadaku dan bibirnya menjejahi wajahku hingga aku gelagapan dibuatnya. Kembali kami mereguk kenikmatan demi kenikmatan hingga sore hari saat kami check-out dari hotel tersebut menuju Bandar Udara kembali ke Jakarta. Di atas pesawat ke Jakarta, aku merenungi kejadian dua hari itu sambil membaui aroma tubuh Mbak Ina yang tertidur dengan kepala rebah ke bahuku. Ah, benar-benar kenangan manis yang tak terlupakan. Akankah ada lagi kelanjutannya?



Sepulang dari pertemuan di Yogya, Mbak Ina tetap bersikap biasa-biasa padaku di kantor. Aku juga tidak berusaha memancing percakapan yang bersifat pribadi atau memandangnya dengan tatapan sayang, agar tidak menimbulkan kecurigaan teman-teman sekantor. Begitulah, di lingkungan kantor ia tetap seorang Ibu Ina yang tegas, tetapi ramah, baik kepada karyawan dan setia pada keluarga. Tetapi dalam hatiku ia kuanggap sebagai kekasih.

Empat bulan setelah penugasan ke Yogya, aku dipanggil oleh Direktur Utama. "Saudara Agus, saya memanggil saudara untuk memberitahukan bahwa minggu depan ada pertemuan sangat penting tentang quality control of product untuk regional Asia di Singapura. Lamanya 3 hari. Orang yang saya percayai untuk hadir pada pertemuan itu adalah Ibu Ina dan saudara Agus. Mengapa? Sebab berdasarkan catatan psikolog perusahaan dan rekomendasi dari Ibu Ina serta memperhatikan kinerja saudara selama ini, saudara sudah mampu bekerja pada bagian yang Ibu Ina pimpin. Dan sepulang dari Singapura, saudara akan kami berikan tugas baru sebagai Manager Assisstant Ibu Ina, tentunya dengan standar penghasilan dan fasilitas sebagaimana mestinya. Kami harap saudara bersedia menerima tugas dan promosi ini."

"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya, Pak, tapi saya minta ijin untuk melakukan adaptasi dalam waktu 2 minggu agar dapat mempelajari hal-hal yang menjadi kewajiban saya. Mudah-mudahan saya tidak mengecewakan Bapak dan pimpinan lain atas kepercayaan yang diberikan," aku menjawab dengan riang, apalagi membayangkan berduaan lagi dengan Mbak Ina.

Pada hari yang ditentukan, Mbak Ina berangkat denganku menuju Singapura. Kami masih memiliki waktu sehari untuk bersiap-siap mengikuti pertemuan regional tersebut. Waktu berada di pesawat, Mbak Ina berbisik padaku, "Gus, jangan lupa ya, tiap malam kamu harus tidur di kamarku lho, walaupun kita tetap menyewa dua kamar hotel."

"Tentu saja, Mbak. Dengan senang hati," balasku. Setiba di Singapura, kami naik taxi menuju hotel yang telah dipesan dari Jakarta. Kami diantar oleh room boy hotel ke kamar masing-masing. Baru lima belas menit di kamar, telepon berdering, "Hello, Dik Agus, ke kamarku aja dulu sekarang ya?" kudengar suara Mbak Ina.

"Iya Mbak. Ha... ha... sabaarr, ojo kesusu yo Mbak!" godaku sambil tertawa.

"Iiihhh, ngomong kesusu, udah ngeres aja kamu ya? Hi... hi... hi... " sambutnya terkikik lembut. "Pokoknya buruan, lewat dari sepuluh menit, pintu tidak dibuka lagi," ancamnya.

"Daulat Tuan Puteri, hamba akan segera datang memenuhi panggilan Tuanku," kujawab ancamannya dengan rayuan.

Agar tidak ada yang curiga apabila memergoki aku masuk ke kamar wanita yang bukan isteriku, aku datang menenteng tas berisi notebook dan berpakaian rapi. Tidak sampai lima menit, aku sudah berdiri di depan kamarnya dan mengetuk. Aku terpana, tanganku ditarik masuk dan dengan cepat pintu telah ditutup oleh Mbak Ina yang sudah berdiri di depanku dengan hanya mengenakan celana dalam dan BH. Tubuhnya yang langsing begitu sexy, pinggulnya begitu indah dan pantatnya yang padat serta dada yang agak membusung meskipun payudaranya tidak begitu besar, membuat mataku cepat mengirimkan info ke otak. Aku merasa darahku mengalir semakin cepat di sekujur tubuhku. Wajahku langsung memerah melihat penampilannya dan desakan di pangkal pahaku semakin sempit terasa karena reaksi alami.

"Kita mandi dulu yuk," ajaknya sambil membukai dasi, baju dan celanaku, hingga aku hanya benar-benar telanjang bulat di hadapannya. "Luar biasa! Mbak Ina yang sangat berwibawa di kantor, rela memberikan tubuhnya bagiku," batinku. Ditariknya tanganku setengah menyeret dan dengan cepat ia melepaskan celana dalam dan BH-nya, sehingga kami berdua berjalan ke kamar mandi bagaikan dua bayi raksasa yang siap berendam di bathtub.

Sesampainya di dalam, kulihat air hangat di bathtub telah penuh dan wangi-wangian rempah begitu semerbak memenuhi kamar mandi tersebut. Rupanya Mbak Ina sebelumnya membawa bekal untuk menambah sensasi kebersamaan kami. Kami pun bergandengan tangan masuk ke dalam bathtub. Dalam keadaan masih berdiri kami berpelukan dan berciuman dengan ganas, maklum telah empat bulan berlalu sejak kejadian di Yogya, kami sama-sama rindu suasana penuh kegilaan itu lagi. Sambil terus berciuman kami duduk berhadapan di bathtub, tangan kami saling mengelus tubuh yang lain. Payudaranya kuremas-remas dengan lembut, putingnya kubelai-belai. Ia membalik tubuhnya dan duduk di pangkuanku. Penisku kurasa sudah begitu tegang apalagi waktu pantatnya turun menindih kedua belah pahaku. Kedua pahanya agak dibuka dan memberi ruang bagi penisku untuk bersentuhan dalam air dengan rambut-rambut kemaluannya. Aku mengambil sabun dan menyabuni bahu, punggung, pinggulnya, kemudian tanganku bergerak ke bagian depan tubuhnya menyabuni pundak depannya, turun ke payudara, di situ kedua tanganku mengelus-elus kedua puting payudaranya, juga meremas kedua belah payudaranya dengan gerakan melingkar, hingga ia mendesah-desak nikmat.

"Oohhh, ya... ya, gitu Gus. Ssshhh..., addduuuhhh... enak... oughhh nikmatnya Gus?" serunya sambil tangannya mengelus-elus penisku yang dijepit oleh kedua pahanya yang kupangku.

Erangannya semakin meninggi sewaktu tangan kananku turun ke arah perutnya, mengusap-usap rambut kemaluannya yang halus dan mengait-ngait klitorisnya perlahan-lahan. Tangan kiriku terus merabai kedua puting dan payudaranya secara bergantian dan kadang-kadang bersamaan. Kurasakan deburan jantungnya semakin kencang dan pantatnya menggeliat-geliat di atas pahaku.

"Ohhh... shhhh... udah dulu Gus, aku sudah tak tahan... ntar kita teruskan... di ranjang. Aku mulai kedinginan nih," tiba-tiba ia bangkit berdiri dan membilas tubuhnya dengan air yang mengucur dari shower. Kubiarkan ia meraih handuk dan melap tubuhnya sambil berjalan keluar. Aku pun segera menyelesaikan mandi, mengambil handuk dan dengan cepat mengeringkan tubuhku.

Kulihat ia sudah berbaring di ranjang di bawah selimut. Aku melompat ke ranjang dengan bertelanjang, hingga ia tersenyum melihat ulahku. Kubuka selimutnya dan masuk ke bawah selimut bersama-sama dengan Mbak Ina. Wah, ternyata ia sama saja denganku, sama-sama bertelanjang. Tiba-tiba kedua tangannya meraih kepalaku dan menciumi pipiku, hidungku dan berhenti di bibirku. Kami saling melumat dengan ganas dan lidah kami saling memilin. Geliatnya semakin tak menentu saat tanganku meremas kedua bulatan di dadanya, terlebih lagi waktu jari-jariku bermain di putingnya dan melumatnya dengan bibirku.

"Ahh... ekhh... sshhh... Gus... terus... terusss... shhh," rintihnya.

Agak lama kubenamkan wajah di payudaranya dan tiba-tiba aku bangkit dan menarik kedua kakinya di atas pahaku dan menempatkan wajahku di pangkal pahanya. Aku begitu bernafsu melihat gundukan kecil yang ditumbuhi rambut-rambut tipis di pahanya. Kugerai rambut kemaluannya sambil mencari-cari klitorisnya yang sudah begitu kurindukan. Setelah kutemukan tonjolan sebesar kacang yang semakin tegang, kubelai-belai dengan gerakan dari atas ke bawah, lalu membuat gerakan memutar dengan telunjuk kananku. Lidahku kujulurkan menyentuh klitorisnya dan mengulas-ulasnya sehingga bola matanya kulihat membeliak menahan nikmat yang semakin melanda dirinya. Isapan mulutku pada klitorisnya ditambah dengan tusukan jari-jariku memasuki liang vaginanya yang semakin lembab membuatnya semakin meracau.

"Sshhh... ukhhh... ahhhh... sssshhh... oookhhh... say... ekkhhh... ouggghhhh," rintihannya semakin kuat dan sesekali ia menjerit di kala klitorisnya kuisap kuat.

Lidahku bermain turun dari klitorisnya, kedua belah bibir bawahnya tak luput dari jilatan dan kuluman lidah dan permainan bibirku. Dengan jari-jariku, kukuakkan kedua labianya ke kanan kiri sehingga terlihat warna merah merona vaginanya yang indah. "Akkkhh... nikmattthhh... Guuusss... oooohhhhhhhhhhhhhhhh... " jeritnya sewaktu lidahku kusapukan ke bagian dalam vaginanya yang terpampang lebar karena kedua labianya kutarik ke kanan kiri. Ia terengah-engah karena rasa nikmat yang semakin memuncak. Kulihat keringat mulai menetes di lehernya, juga dada, perut dan pinggangnya.

Lidahku terus turun hingga melewati ujung bawah vaginanya. Kini sasaranku adalah lubang analnya. Kuarahkan hidung mengendus-endus analnya. Ia menggeliat kegelian, tetapi tidak berusaha menolakkan kepalaku. Bibirku mulai menciumi tepi-tepi analnya dan lidahku mulai mencari-cari lubang analnya. Jari-jariku kupakai untuk membuka analnya lebih lebar sehingga lidahku masuk ke analnya. Mendapat perlakuan demikian, pantatnya tiba-tiba terangkat ke atas dan rintihannya semakin keras mengatasi suara televisi yang sedang menyiarkan warta berita. "Ihhhhh... nikmaaaaattthhhhh... " Analnya terus kujilati sambil jari-jariku terus mengusap-usap labia dan klitorisnya.

"Okkhhhhh... ssshhhhh... Gussss, aku tak kuuuu...att... ahhhhhh... aku mau... ke... kelll...luarrrrr... " ia menjerit-jerit sambil menggeliat-geliat. Tiba-tiba kurasakan vaginanya membanjir dengan cairan yang cukup banyak. Tak mau kehilangan momentum yang menentukan, kuarahkan bibir dan mulutku ke vaginanya dan menyedot dengan rakusnya cairan kenikmatan yang dihasilkannya. Telunjuk kiriku masuk ke vaginanya, menusuk dalam-dalam sedangkan telunjuk tangan kananku dengan cepat menembus analnya hingga lebih setengah jariku ditelan analnya yang berdenyut-denyut menjepit jariku.

"Sayannnnngggg... oohhh... akkk... ku keluarrrrr... " teriaknya sambil kepalanya dihempas-hempaskan ke kiri dan kanan. Tangannya meremas-remas kedua buah dadanya dengan ganas dan pahanya dirapatkan dengan jariku masih terjepit dalam analnya.

Sesudahnya ia tergolek lemas dengan senyum manis dan tatapan sayu ke arahku. Aku membalas dengan mengecup bibirnya berbagi cairan kenikmatannya yang masih tersisa di mulutku. Ia amat bergairah menyambut ciumanku dan tidak merasa jijik menjilati cairannya yang ada di mulutku.

Tubuhku kuletakkan miring memeluk dirinya dari belakang. Sambil kuelus-elus bahu, pinggang dan pinggulnya, penisku mengambil posisi tepat di belakang pantatnya. Kurenggangkan sedikit pahanya dan perlahan-lahan penisku mencari-cari lubang analnya. Karena begitu sempit, kugunakan lagi jari-jariku meraba dan menusuk analnya setelah membasahinya dengan ludahku. Ia tersentak dengan style yang kupakai sekarang. Analnya semakin membesar saat topi baja kepala penisku memasuki sedikit demi sedikit. Kuhunjamkan penisku semakin dalam dan ia kembali mengerang. Kembali birahinya naik menyambut tusukan-tusukan mautku dan remasan jari-jariku di payudaranya. Karena posisinya demikian kritis, penisku masuk sebagian saja ke dalam analnya. Merasa kurang sreg, aku menggulingkan tubuhnya hingga tengkurap dan penisku masuk seluruhnya hingga ia mendongakkan kepala dengan jeritan kuat,

"Gus... ohhhhh... pelan-pelan, oohhh... ssshhhh... sssaaakiiittt..."

"Tenang say, ntar lagi juga bakal enak kau rasakan... " hiburku sambil menarik penisku dan memasukkannya lagi dengan gerakan yang lebih lambat.

Benar saja, bukannya merasa sakit, perlahan-lahan Mbak Ina merasakan nikmat yang tak terhingga saat penisku kembali masuk keluar analnya, apalagi jari-jari tanganku turut merogoh vaginanya dari depan merangsang klitoris dan labianya yang membanjir dengan cairan kenikmatan. "Sssrrrt... crrett... ssrrrt... crrrtt," terdengar suara yang aneh saat penisku melesak maju mundur dalam analnya.

"Sssshhh... aaahhh... ekkk... sssshhh... ooooougggghhhhh..." lenguhnya berusaha menahan agar tidak cepat-cepat orgasme. Tapi ia tak kuasa menahan lebih lama lagi, pantatnya yang menjepit penisku dalam analnya bergetar hebat hingga kurasa penisku tak dapat kutarik mundur maju lagi, terjepit dengan ketatnya dalam analnya; dan dengan suatu sentakan luar biasa, ia merapatkan bongkah pantatnya dengan telak ke arah penisku. "Ooouwww... sshhhh... aaaaahhhhhkkk... aku dapat Gussss...!" teriaknya kuat hingga aku sendiri terkejut mendengar jeritan birahinya.

"Crot... crrooootttt... crrooootttt... " penisku tak mampu lagi kutahan, dengan hebat menyemprotkan air mani dalam analnya. "Ahhhhhhh... akkkkuuuuu... keluar Mbbbbaakkkkk!" desahku sambil menghunjamkan dalam-dalam penis ke dalam bongkahan pantatnya yang sangat merangsang.

Masih menindih tubuhnya yang menelungkup dari atas, aku mulai meredakan napas dan mengatur detak jantungku yang begitu kencang, dan berguling ke sampingnya dengan tetap memeluk pinggulnya hingga terlentang dengan tubuhnya kini berada di atasku.

Ia benar-benar menikmati posisi tubuhnya yang demikian di atas tubuhku, apalagi tangannya mengusap-usap pangkal penis dan menjemput testisku. Sambil meresapi elusannya yang lembut, kubelai-belai payudara dan putingnya yang masih tegang. Sementara di bawah, kurasakan tetesan air maniku turun dari lubang analnya yang masih dipenuhi penisku, membasahi batang penisku dan menetes ke sprei ranjang Mbak Ina. Aku begitu nyaman merangkul tubuhnya yang menindih tubuhku.

"Gus, Gus, kamu tidak berat ditindih badanku begini?" tanya Mbak Ina.

"Hmmm, nggak apa-apa, Mbak. Apalagi ada kompensasinya koq, penisku masih menikmati kuluman analmu," jawabku.

"Iihhhhh jorok... , nyebut-nyebut anal," katanya.

"Biarin jorok, yang penting nikmat, Mbak... " aku menimpali ucapannya, "Kalau begini terus tiap malam di Singapura ini, wah... rasanya seperti berbulan madu dong Mbak?"

"Enak aja kamu Gus! Kita kemari kan buat kerja," tandasnya mengingatkan maksud kami datang ke Singapura. "Ini kan selingan buat menumpahkan rindu sejak pulang dari Yogya," tambahnya.

Aku tersenyum mendengar kata-katanya. "Iya deh Mbak. Tugas tetap tugas, tapi pacaran juga jalan terus kan?" gurauku.

Ia tertawa kecil dan sambil menggulingkan tubuhnya ke sampingku ia bertanya, "Kamu senang ikut tugas kantor denganku, Gus?" Belum sempat kujawab pertanyaannya, ia berkata lagi, "Aku yang mendesak pimpinan agar kamu ditaruh pada bagianku dan menjadi asistenku. Tadinya ada manajer lain yang memintamu ke bagiannya, tapi berkat argumentasiku dan didukung oleh evaluasi dari bagian personalia, kamu disetujui pindah ke tempatku."

"Aku sempat kaget, Mbak. Koq tiba-tiba ditawari posisi baru padahal masih ada beban kerja di bagianku yang harus kuselesaikan tahun ini," kataku. "Rupanya Mbak Ina yang menjadi dalang di balik semua ini?"

"Jadi kamu nggak suka atas ulahku memindahkanmu?" desisnya sambil memandangku tajam. "Wah, keluar galaknya," pikirku.

"Ouww, jangan salah sangka, Mbak. Aku justru sangat senang dan berterima kasih mendapat promosi. Cuma tidak menduga sebelumnya bahwa Mbak turut berperan atas hal ini," kataku sambil mencium bibirnya lembut. Ia membalas ciumanku dan mengulum serta mengisap lidahku.

Kami kemudian tidur sambil berpelukan di bawah berselimut. Kira-kira sejam kemudian aku tersentak mendengar dering telepon. Ingin kuraih, tapi khawatir itu untuknya, maka kuguncang-guncangkan bahunya agar menerima telepon tersebut.

"Hallo, I am Mrs. Ina," katanya menjawab nada panggilan di seberang sana.

Aku memeluk tubuhnya yang telanjang dari belakang dan kudekatkan telingaku ke telinganya, lalu kudengar suara dari seberang sana. Rupanya dari Direktur Utama kami.

"Bagaimana perjalanan kalian? Apakah semuanya berjalan baik?"

"Yes, oh... ya... ya, Pak, kami baik-baik saja. Perjalanan kami lancar dan kami sudah berada di hotel untuk mempersiapkan diri pada pertemuan besok," jawabnya.

"Saya berkali-kali menelepon ke kamar Agus, tapi tidak diangkat. Apakah ia keluar hotel?"

"Celaka, rupanya The Big Boss mencari jejakku," pikirku.

"Tadi begitu tiba di hotel, ia minta ijin tidak mau diganggu, Pak. Katanya semalam ia tidur larut malam karena mempersiapkan presentasi kami untuk pertemuan besok. Mungkin ia sedang bermimpi indah di kamarnya, Pak," jawabnya berbohong. Gila benar, cepat sekali si Cantik ini memberi argumentasi yang membuat atasan kami senang.

"Baiklah, jika demikian, silakan beristirahat agar penampilan kalian besok benar-benar prima. Sampaikan salam saya kepada Agus. Sukses ya!" kembali suara Direktur Utama kami terdengar.

"Ok Pak, saya sampaikan salam Bapak nanti dan doakan kami agar tidak mengecewakan Bapak dan perusahaan. Salam kami kembali buat Bapak," katanya menutup pembicaraan dan meletakkan gagang telepon.

Masih memeluk pinggangnya dari belakang, bibirku menghembuskan napas di belakang telinganya hingga ia kegelian lalu lidahku menjilati lehernya yang jenjang hingga turun ke kuduknya. Di situ kubuat kecupan agak kuat hingga ia mendesah-desah. Apalagi sewaktu bahunya kuciumi dan kujilati dengan lembut. Ia mengerang dan desahannya seperti orang kepedasan karena makan cabai. Ciuman dan jilatanku semakin turun ke punggung, pinggang dan pinggulnya. Ia semakin menjadi-jadi meliuk-liukkan tubuhnya. Kudengar suaranya sambil mendesah,

"Gus, apakah kamu pernah melakukan seperti ini dengan perempuan lain selain isterimu dan aku?"

"Mbak, Mbak, mana berani aku berbuat begini. Dengan Mbak aja hanya karena "gayung bersambut" maka aku mau. Aku takut kena penyakit kelamin, Mbak," jawabku.

"Jadi kamu jujur nih tidak pernah begini dengan yang lain?" desaknya, "Soalnya aku tak mau kalau suatu waktu kena penyakit karena tertular darimu yang pernah main dengan perempuan lain. Apalagi kita cuma bisa main anal, karena aku tak mau kau coblos vaginaku."

"Jujur Mbak," kataku. Memang aku tak pernah berpikir jajan atau berbuat begini dengan yang lain, bahkan ada beberapa gadis di kantor yang pernah menggodaku atau menaksirku baik terang-terangan maupun secara diam-diam, tidak pernah kugubris. "Aku cuma setia padamu dan istriku, Mbak Ina sayang," rayuku.

"Aku perlu kejujuranmu agar tiada sesal diantara kita kelak," ungkapnya. "Biar saja Tuhan Sendiri yang menyaksikan kebinalan kita, tetapi rumah tangga kita tetap kita pelihara," katanya lagi.

Aku terdiam dan menghentikan elusan tangan dan permainan bibir dan lidahku sambil merenungkan kata-katanya barusan.

"Lho, koq jadi diam? Tersinggung dengan kata-kataku barusan ya?" ia bertanya sambil menoleh ke belakang hingga hidungnya menyentuh pipi dan hidungku. "Terusin dong... " rajuknya sambil tangannya meraih tanganku yang memeluk pinggangnya agar naik meraba payudaranya kembali.

"Aku terharu aja Mbak," kataku. "Mbak tidak menuntut apa-apa dariku selain kebersihan diri seperti itu, walaupun aku sadari dosaku menggoda Mbak."

"Sssttt, jangan bicara begitu. Tidak ada yang salah. Bukan kau yang menggodaku, justru aku yang harus tahu diri dan tidak menggodamu," bantahnya. "Tak perlu menyesali semua yang sudah-sudah. Yang penting kita berdua pandai-pandai membawa diri agar hanya kitalah yang tahu dan Tuhan bahwa kita saling menyayangi dan ingin berbagi kasih. Itupun tidak tiap kali kita melakukan hal begini. Paling-paling saat keluar kota atau keluar negeri seperti sekarang. Yang kuminta padamu Agus sayang, adalah jangan keterusan bersetubuh denganku lewat vaginaku, agar setidak-tidaknya masih ada bagian yang tersisa pada tubuhku yang hanya boleh dimiliki dan dinikmati oleh suamiku."

"Ya Mbak. Aku memang tergoda melihat vaginamu dan payudaramu serta seluruh organ tubuhmu yang sangat menawan. Bahkan waktu di Yogya aku sangat berhasrat memasukkan penisku ke dalam vaginamu. Untungnya aku masih sadar dan menahan diri. Entah nanti. Tapi kuharap jangan segan-segan menamparku apabila aku tak dapat menguasai diri, mana tahu Mbak kupaksa dan kuperkosa suatu waktu," pintaku.

"Justru itu Gus. Aku tak ingin ada kekasaran diantara kita. Biarlah kita menikmati kasih ini dengan cara kita sendiri tanpa harus menggunakan yang satu itu. Aku rela jika kau minta terus-terusan memasukkan penismu di mulutku atau analku, tapi ke vaginaku kuharap tidak kau lakukan, kecuali jika hanya bagian kepala hingga leher penismu saja masuk ke vaginaku. Bagaimana Gus, kau mau berjanji padaku?" tuntutnya sambil melingkarkan kedua tangannya ke leherku.

"Aku tidak mau berjanji, Mbak, sebab janji adalah hutang. Tapi aku akan selalu berusaha untuk menahan diri agar tidak mengecewakan dirimu Mbak. Mudah-mudahan hubungan aneh kita ini tidak membuat kita saling menyakiti kelak dan tidak ada yang akan dipermalukan diantara kita berdua. Semoga hubungan gelap kita ini hanya Tuhan dan kita berdua yang tahu dan biarlah Dia memaafkan kita atas perbuatan kita ini. Sebab aku tulus mengasihi Mbak dan tidak ingin merusak kepercayaan yang sudah Mbak tanamkan padaku," tekadku.

Mbak Ina memelukku erat-erat dan mengecup leherku. Agak lama ia berbuat demikian hingga kurasakan ada aliran air hangat membasahi leherku turun ke dadaku. "Mungkin ia menangis," pikirku. Benar saja, kemudian ia melepaskan wajahnya dari leher dan dadaku. Kupandang matanya berair dan sebagian membasahi pipinya. "Mengapa Mbak menangis?" aku bertanya lugu.

"Aku terharu, Gus. Masih ada pria sebaik dirimu yang mengasihiku dengan tulus, tidak menuntut yang bukan-bukan. Andaikan dengan lelaki lain, barangkali sudah sejak di Yogya aku tak punya muka lagi melihat dunia karena melakukan persetubuhan dengan pria yang bukan suamiku. Mana ada buaya menolak bangkai, bukan? Pasti ajakanku menemani sekamar saja sudah diartikan untuk melakukan hubungan badan, iya nggak?" katanya.

"Aku senang karena mencintai perempuan sebaik Mbak Ina," kataku. "Memang sukar untuk tidak melakukan persetubuhan apalagi jika melihat wanita secantik Mbak. Aku justru karena sungguh-sungguh menyayangi Mbak sejak awal masuk perusahaan, sehingga tidak pernah berpikiran merusak diri Mbak." lanjutku.

"Ok sayang, sekarang... mumpung masih ada waktu tersedia sebelum kita bekerja besok, mari kita reguk kenikmatan kembali," ajaknya sambil menghujani dadaku dengan ciuman-ciuman yang menggairahkan. Putingku dilumat oleh lidahnya dan bibirnya mengecup kedua putingku bergantian hingga kulihat ada cupang berwarna kemerah-merahan bekas kecupan bibirnya. Birahiku kembali membuncah mendapat perlakuan demikian. Kubalas dengan menaruh kedua pahanya di atas pahaku dan memeluk dirinya erat-erat sambil meremas-remas kedua buah dadanya. Kembali ia mengerang dan mendesah-desah. Vaginanya bergerak-gerak di bagian bawah penisku seakan-akan meminta diterobos oleh batang kenikmatanku. Diarahkannya penisku menguakkan rambut-rambut kemaluannya. Tetapi aku sadar akan percakapan kami tadi dan tidak berusaha memasukkan penisku ke dalam vaginanya yang semakin lembab. Ia berbisik di telingaku, "Gus, masukkan penismu dikit ya, atur agar cuma sampai leher penismu masuk dalam vaginaku. Soalnya aku terangsang banget. Biar klitoris dan labiaku nikmati tusukan kepala penismu ya sayang?" pintanya. Kuturuti permintaannya dan menekan lembut ke liang vaginanya, tapi jari-jari tangan kananku kupakai menggenggam penisku, sehingga batangnya dapat kukendalikan tidak masuk dan hanya kepala hingga leher penisku yang menekan-nekan rambut kemaluannya.

Dengan sedikit geliat, ia berhasil membuat kepala penisku tepat berada di depan klitorisnya yang semakin tegang. Sekonyong-konyong ia merebahkan badannya terlentang di bawahku dengan kedua belah pahanya masih ditumpangkan di atas pahaku dan menggerakkan pahanya ke arah tubuhku sehingga kepala penisku menancap telak di mulut vaginanya. Untunglah aku tetap menggenggam batang penis hingga ke pangkalnya hingga tidak terbawa masuk akibat gerakannya yang tiba-tiba.

"Ayo Gus, aaahhhh... ssshhh... ayo... sayangggg... gerakkan kepala penismu menggesek-gesek klitoris dan permukaan vegy-ku," erangnya.

Dengan setengah berlutut, kugerakkan pantatku maju mundur agar kepala penisku benar-benar memberikan gesekan nikmat bagi klitoris dan labianya yang semakin basah.

"Ahhhh... ssshhhh... ooooohhhh... ooouuuwwww... yang cepat Gus... lebih cepat lagi sayanggggg... aaahhhhhhhhhh... " desisnya sambil melemparkan kepalanya ke kanan kiri dan ke atas hingga rambutnya semakin awut-awutan, tapi justru menambah kecantikannya sebab wajahnya semakin merah merona dan kedua tangannya terus meremas-remas puting dan payudaranya karena tanganku kupakai meremas-remas kedua belah pantatnya dan mengelus-elus pahanya.

Gerakan kepala penisku sekarang kupusatkan pada bagian klitorisnya dengan cara memutar hingga membuatnya semakin menggeliat-geliat sambil merintih sambil meraih kenikmatan. Kemudian kubuat variasi gerakan dengan mengulas-ulas labianya menggunakan kepala penisku hingga bibir bawahnya semakin terbuka memperlihatkan warna merah dengan cairan-cairan putih bening yang keluar dari lipatan-lipatan dalam vaginanya.

Tiba-tiba pantatnya diangkat tinggi hingga kulepaskan penisku dan kedua belah pahanya menjepit leherku kuat-kuat, denyut-denyut di vaginanya semakin kencang dan dengan jari-jariku kuterobos liang kenikmatannya dalam-dalam sambil mengisap kuat-kuat klitorisnya. Dengan jari telunjuk kanan, kuterobos vaginanya mencari-cari letak G-spotnya. Agak ke atas di belakang klitorisnya kutemukan suatu titik lembut yang ketika kutekan membuatnya makin merintih-rintih nikmat. Sedangkan telunjuk tangan kiriku pelan-pelan merambat ke dalam analnya hingga ia semakin menggelinjang-gelinjang.

Saat gerakannya semakin liar, kumasukkan lagi dua jariku bersama-sama telunjuk masuk membenam ke dalam vaginanya dan kurasakan bagaimana lorong vaginanya meremas-remas ketiga jariku dengan kuatnya dan dengan dorongan yang luar biasa ia menyemprotkan cairan vaginanya hingga muncrat ke wajahku. "Guuuuusssss... " hanya itu kata-kata yang dapat ia lantunkan di puncak orgasmenya. Dengan cepat kubenamkan wajahku, bibirku dan lidahku menjilati cairannya yang kini bukan hanya di seputar vaginanya, tapi juga mengenai rambut dan dadaku bahkan sebagian mengenai sprei. Luar biasa banyaknya. Rasanya gurih, sedikit asin, dan aku terus dengan keasyikanku menjilati semua cairannya.

"Oohhhh... Agus sayangggg... enak... nikmat sekali sayang, aaaakhhhh. Kau apakan vaginaku sampai begitu banyak menyemprotkan maniku?" erangnya sambil mengelus-elus kepala dan rambutku. "Begitu lama aku kawin dengan suamiku, tetapi baru sekali ini kurasakan semprotan vaginaku yang luar biasa," katanya lagi.

"Sayang... apa kau tidak tahu? Itu kan G-spot-mu yang kutekan tadi bersama-sama klitoris dan liang vaginamu," jawabku sambil mencium bibirnya.

"Ehh... ya... aku sendiri walaupun sudah menikah lebih dari sepuluh tahun, rasanya masih banyak yang harus kupelajari tentang seks," gumamnya. "Anehnya, aku malah bisa begitu nikmat kamu puasi, padahal suamiku termasuk orang yang rutin berhubungan badan, tetapi pemahamannya tentang tubuh wanita sepertinya kalah dari kamu," lanjutnya.

Sampai sore hari kami masih bermain dua kali dan setelah makan malam, kami kembali bergulat di kamarnya sampai pukul sembilan. Untunglah kami ingat harus beristirahat agar tampil bugar pada pertemuan besok.

Selama mengikuti pertemuan dengan rekanan, kami berdua memperlihatkan sikap biasa-biasa di depan orang lain, tidak terkesan bahwa kami punya hubungan intim. Namun malam harinya, seperti hari pertama di Singapura, aku rutin menemani Mbak Ina di kamarnya. Tentu saja bukan sekadar tidur, tetapi setidaknya bermain cinta secara unik dengannya paling sedikit dua kali; bahkan pernah kami melakukan sampai ia mencapai orgasme sebanyak 5 kali dan aku sebanyak 3 kali.

Malam terakhir kami di Singapura benar-benar kami habiskan berdua di kamarnya. Begitu usai makan malam dengan Mr. Chow, salah seorang manager pada perusahaan rekanan kami, dengan dalih akan beristirahat, Mbak Ina sudah pamit lebih dulu meninggalkanku bersama rekanan kami yang masih mengajakku ngobrol. Aku sudah ingin cepat-cepat pergi, apalagi sudah sepuluh sms Mbak Ina masuk, minta aku segera datang, tapi karena tak enak hati pada rekanan kami, aku cuma membalas singkat, "Masih ada yang dibicarakan, sabar sayang!" Tepat pukul 9 malam, barulah aku pamit dengan dalih sudah mengantuk dan membuat gerakan menguap beberapa kali. Kusms Mbak Ina, "Tuan Putri, hamba segera datang ke peraduanmu." Sesampai di kamar, kuangkat gagang telepon untuk berbicara dengan Direktur Utama melaporkan kegiatan kami. "Semua beres, Pak. Laporan selengkapnya secara tertulis akan Ibu Ina dan saya selesaikan agar dapat Bapak terima sesegera mungkin," janjiku. Pimpinan kami menjawab dengan nada puas, "Baiklah, saya percaya akan kinerja kalian. Silakan beristirahat karena kalian tentu sudah sangat lelah beberapa hari ini. Bila perlu tak perlu cepat-cepat pulang besok agar dapat sehari lagi berjalan-jalan di Sinagapura. Mengenai hal ini, sudah saya pesankan tadi kepada Ibu Ina, sehingga tak perlu kuatir akan adanya tambahan biaya, semua akan ditanggung oleh perusahaan. Ok, sampai jumpa." Aku senang sekali mendengar ucapan Direktur Utama kami itu. "Wah, kalau Mbak Ina setuju, berarti besok kami dapat seharian mereguk anggur kenikmatan di atas ranjangnya," pikirku.

Setelah itu, kuputar nomor telepon rumahku. Begitu diangkat, kudengar suara istriku, "Hallo, selamat malam! Mau bicara dengan siapa?" Kukatakan pada istriku, "Mama sayang, bagaimana kabarmu?" Jawabnya, "Oh Papa ya? Aku baik-baik saja, tapi sudah rindu banget. Jadi pulang besok, Pa? tanyanya.

"Itulah yang mau kukatakan. Aku belum tahu bagaimana Bu Ina selaku pimpinanku. Tadi Boss kami katakan agar kami menambah waktu untuk melakukan beberapa hal lain mumpung masih di Singapura, sehingga kami tak dapat pulang besok, paling cepat lusa. Mudah-mudahan Bu Ina memperbolehkan aku pulang duluan, abis udah kangen pada Mama sih! Tapi jika tidak diijinkan, Mama sabar aja ya nunggu Papa pulang lusa," kataku dengan nada merayu. Sebetulnya tak enak juga berbohong seperti itu padanya, tapi karena adanya peluang diberi Pimpinan, kucoba gunakan.

"Ahhh, Papa jahat deh! Jadi besok belum bisa melepas rindu dong?" rajuk istriku manja.

"Jangan marahin Papa dong, Mama sayang... kan Papa hanya bawahan yang harus tunduk pada atasan. Apalagi Papa sudah bilang bahwa tugas kali ini berkaitan dengan promosi jabatan Papa sepulang ke Jakarta nanti. Kalau sudah balik ke Jakarta, Mama minta berapa ronde pun kulayani deh... " kucoba meyakinkan dengan melontarkan jurus-jurus rayuan maut.

"Kalau begitu, Papa harus belikan Mama oleh-oleh yang bagus... dan jangan lupa, kangen Mama harus dirapel beberapa ronde yaaaa???" kembali suara manja istriku terdengar.

"Baik, Papa akan carikan souvenir indah buat Mama, tapi janji jangan musuhin Papa dan jangan buat Papa lecet-lecet waktu melepas rindu nanti ya?" jawabku. "Ok Mama, selamat malam, selamat tidur ya. Kiss bye," sambungku menutup percakapan kami.

"Cup... cup... met malam. Salam kangen banget ya Pa!" desah istriku.

Baru saja kuletakkan gagang telepon, tiba-tiba telepon itu berdering.

"Kriiingg... krrrinngg... krrinnggg... " Kuangkat telepon, dan benar dugaanku, Mbak Ina. Pasti ia sedang uring-uringan. "Koq lama banget sih. Sibuk terus teleponmu! Apa kamu punya pacar baru ya?" semprotnya.

"Maaf Mbak, tadi abis bicara dengan Mr. Chow, aku telepon Boss kita di Jakarta melaporkan pertemuan kita."

"Ngapain kamu mesti telepon Pimpinan kita, kan tadi sore kamu dengar sendiri aku bicara per telepon dengannya?" katanya ketus.

"Jangan marah gitu dong, Mbak? Aku kan juga mau tambahkan percakapan informal kami dengan Mr. Chow tadi sekaligus memberitahu beliau bahwa laporan pertemuan kita akan sesegera mungkin saya siapkan."

"Ohh gitu, abis teleponmu sibuk terus sih, padahal sms-mu tadi bilang mau langsung ke kamarku? gerutunya sambil melanjutkan dengan nada yang sudah semakin datar, "Nah, tadi beliau katakan agar kita tidak buru-buru pulang. Jika ada yang masih perlu dipelajari dari rekanan kita di luar pertemuan formal beberapa hari ini, kita dapat menambah waktu sehari lagi di sini. Bagaimana, kamu tidak keberatan?"

"Ah, aku sih bagaimana Mbak aja. Apalagi tokh tiap malam Mbak selalu memberikan service khusus buatku?" candaku demi mendengar suaranya sudah mulai mendatar.

"Tapi bagaimana dengan istrimu, apa tidak curiga jika kita nambah waktu di sini?" tanyanya menyelidik. "Kalau aku sih, sudah langsung kutelepon suamiku tadi memberitahu kemungkinan pulang masih lusa dari sini."

"Beres, Mbak. Tadi istriku sudah kubilangin kalau masih ada tugas kita, sehingga belum bisa pulang besok," jawabku.

"Gila lu, tugas apa tugas nih?" oloknya sambil tertawa kecil. "Udah buruan, aku sudah kedinginan sendirian di kamarku. Jangan pake mandi lagi, cepat ya! Kutunggu dalam sepuluh detik," ancamnya menggoda.

"Ha... ha... ha... jangankan sepuluh detik, Mbak. Sekarang pun aku sudah di kamarmu karena masuk lewat saluran telepon... " balasku sambil meletakkan telepon dan bergegas ke kamarnya.

Sesaat kemudian aku sudah di depan kamarnya. Waktu kuketuk pintunya, ternyata pintunya sedikit terbuka, "Masuk Gus!" Aku mengomelinya, "Gila, koq pintumu tidak dikunci sih Mbak? Nggak takut ada orang lain masuk?" Kulihat lampu kamarnya remang-remang dan ia berbaring di ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya, sementara pesawat televisi di kamarnya menyajikan film dewasa semi porno. Batinku, "Wah, udah ngeres rupanya dia nonton film beginian?"

"Ah ngapain takut? Tokh cuma kamu yang tahu kalau pintu itu agak terbuka. Dari tadi ada yang lewat kudengar tapi mana berani masuk?" tangkisnya.

"Aku mandi dulu ya Mbak, gerah banget nich seharian duduk, sore tadi cuma mandi koboi," kucoba bercanda melihat reaksinya terhadap ucapanku.

"Ehhh... belum pernah lihat televisi dilempar ke wajahmu, ya? Kan udah kubilang tadi tak usah pake mandi. Alasan aja, padahal mau godain aku... Sini, naik ke dekatku!" serunya dengan nada memerintah.

Kulepaskan baju dan celana panjangku dan kusampirkan di gantungan baju di lemarinya. Dengan hanya mengenakan celana dalam dan kaos singlet, kudekati dia dan membuka selimut masuk ke baliknya berbaring di dekatnya. Sekilas kulihat ia hanya mengenakan baju tidur tipis tanpa mengenakan BH, entah celana dalamnya karena selimutnya tidak kubuka lebar.Belum sempat rebah dengan baik, ia sudah memelukku dan melumat bibirku dengan buas. Tangannya meraih kepalaku dan bahuku, hingga aku tak bisa mengelak dari ciuman-ciuman mautnya. Lidahnya disusupkan masuk ke dalam mulutku membelit lidahku dan mengait-ngait rongga mulutku sambil bibirnya menutup penuh-penuh mulutku. Buah dadanya yang padat begitu liat dengan putingnya yang kulihat sudah tegang, menekan dadaku hingga birahiku naik dengan cepat.

"Sebentar Gus, kamu jangan melawan, ikuti saja kemauanku... " paksanya tiba-tiba sambil menyeret tubuhku ke pinggir ranjangnya, sementara selimut yang kami pakai sudah terlempar ke bawah ranjang. Ditariknya kedua kakiku hingga berjuntai ke lantai dan pantatku tepat di tepi ranjangnya, sementara di bawah kepalaku ia letakkan sebuah bantal. Lalu dengan cepat ia menempatkan diri berjongkok di antara kedua pahaku dan mengelus-elus rambut kemaluanku. Bibirnya mulai ia gunakan menciumi lututku, naik ke pahaku dan kedua testisku. Lidahnya mulai menjulur membasahi pori-pori tubuhku seolah-olah tidak mau menyisakan se-inci pun luput dari lumatan bibir dan tusukan lidahnya yang menimbulkan seribu satu sensasi. Aku mulai mengerang mendapat pelayanan yang begitu memuaskan. "Ekhhhh... sshhh... ahhh... Mbakkkk... nik... mat... Ougghh... sayaangggg..." Kembali kusaksikan bukan seorang Ibu Ina yang sangat disegani di lingkungan kerja, tetapi yang ada kini hanyalah seorang wanita yang benar-benar tahu apa yang harus ia lakukan untuk memenuhi kodratnya sebagai seorang wanita terhadap kekasihnya.

Perlahan-lahan lidahnya menjilati batang penisku dan melakukan gerakan memutar sambil menggunakan sebelah tangannya memegangi pangkal kemaluanku dan tangannya yang lain mengelus-elus testisku yang menjadikanku menggeliat-geliat. Di bagian leher penisku, lidahnya bermain dengan lincah melakukan manuver keliling dan "Oouuuwww... !" aku menjerit ketika ujung lidahnya mengulas-ulas lubang penisku dan memasukkan kepala penis ke dalam rongga mulutnya sambil terus menerus melakukan gerakan simultan dengan kedua tangannya.

Aku semakin terengah-engah manakala ia memasukkan seluruh penisku hingga pangkalnya masuk ke mulutnya. Kurasakan bagaimana ujung penisku menyentuh kerongkongannya, aku tidak tahu apakah itu amandelnya, tapi yang jelas ada benda yang lunak di sana memberikan rangsangan yang luar biasa bagi kepala penisku. Sambil menelan seluruh penisku dalam-dalam, lidahnya tetap menjilati batang penis dan kepala penisku, hingga aku terbeliak karena menahan nikmat yang tak terkatakan. Aksinya belum berhenti, tangan kanannya menggenggam batang penisku dan melakukan kocokan-kocokan maut sambil terus mulutnya melakukan gerakan memasukkan dan mengeluarkan kepala penisku semakin cepat dan semakin cepat. Tangan kirinya kembali meremas-remas, kini sasarannya adalah kedua belah pahaku dan entah kapan cairan ludahnya ia ambil dari mulutnya, kurasakan jari telunjuk kirinya mulai melakukan eksplorasi ke liang analku. Mula-mula masih di permukaan analku ia oleskan ludahnya, tetapi kemudian ia mulai memasukkan sedikit demi sedikit jarinya ke dalam analku. Lonjakan pantatku semakin hebat, bahkan hingga bergetar merasakan rangsangan yang dahsyat hingga tanpa kusadari kedua bongkah pantatku kuangkat hingga penisku semakin kutekankan ke mulutnya. Jarinya yang masuk ke analku pun masuk semakin dalam bahkan sampai seluruhnya dan kurasakan ia melakukan gerakan memutar di dalam analku, bahkan kadang-kadang ujung jarinya mengait-ngait bagian dalam analku hingga kurasakan betapa denyutan analku semakin kencang menjepit jarinya. "Penyiksaannya" pada penis, kedua testis dan analku membuatku semakin horny, hingga kurasa tak lama lagi akan mencapai klimaks. Gerakannya semakin cepat demi melihat reaksiku yang sudah seperti cacing kepanasan, menggeliat-geliat sambil merintih. Dengan suatu erangan nikmat, aku memuntahkan cairan hangat ke mulutnya.

"Akkkhhh... Ak... kuuu keluar Mbakk sayangg?" Kurasakan betapa kuatnya desakan maniku menyemprot dalam rongga mulutnya yang ia sambut dengan penuh perasaan. Kuamati wajahnya, ia sedang terpejam sambil menikmati air maniku dengan pipi yang kempot karena kuatnya mengisap penisku. Lidahnya terus merangsang lubang penisku yang masih menyemprotkan mani.

"Ohhh... hebat... jepitan analmu sungguh hebat Gus!" pujinya sambil menjilati air maniku yang menetes di bibirnya, sementara jarinya pada analku masih ia hunjamkan sedalam-dalamnya.

Denyut jantungku yang memacu dengan kencang dan napasku yang terengah-engah tidak membuatku surut. "Sekarang rasakan pembalasanku," pikirku sambil menegakkan tubuh berdiri di tepi ranjangnya dan dengan gerakan yang tak ia duga, mendorongnya jatuh ke ranjang lalu menarik kedua kakinya ke tepi ranjang persis seperti yang ia lakukan bagiku.

"Lho, ada apa Gus? Pelan-pelan dong?" katanya terkejut.

"Emang cuma Mbak yang bisa bikin begitu? Giliranku sekarang, ayo... nikmati aja say!"

Kulucuti gaun tidurnya dan ternyata memang tidak ada lagi apa-apa di baliknya, hingga kini kami berdua sudah dalam keadaan telanjang tanpa selembar benang pun melekat di tubuh masing-masing. Kuciumi mulutnya dan kugelitik rongga mulutnya dengan memasukkan lidahku dalam-dalam ke mulutnya, lalu ciuman dan jilatanku turun ke lehernya yang jenjang terus ke payudaranya. Putingnya kulumat sambil mengisap buah dadanya sebanyak yang dapat kutelan dalam rongga mulutku sambil jari-jariku meremas-remas payudaranya yang sebelah lagi. Bergantian kulakukan seperti itu hingga ia semakin merintih. "Gusss... ohhh...nikmat... ahhh... terus... ya gitu say... ooohhhh... teruskan remas susuku... " desahnya.

Usai menggeluti kedua buah dada dan kedua putingnya yang sudah tegang mencuat ke atas, kutelusuri perutnya, pinggang dan pinggulnya dengan bibir dan lidahku. Ia memejamkan mata sambil terus merintih hingga suara rintihannya terdengar begitu memilukan, tapi aku tahu, ia tidak kesakitan melainkan karena merasakan nikmat yang semakin memuncak. Lidahku semakin liar menjilati seputar kemaluannya dengan memulainya pada bagian labianya yang sudah basah. Rambut kemaluannya kuraba dengan jari-jariku sambil mencari-cari klitorisnya. Begitu kutemukan klitorisnya, lidahku dengan ganasnya melakukan isapan dan jilatan yang membuatnya semakin liar menggelinjang. Kedua tangannya meremas-remas rambutku bahkan sesekali menarik rambutku karena gemas. Jari-jari tangan kananku menekan-nekan labianya dan telunjukku kumasukkan ke liang vaginanya hingga membuatnya terhenyak kaget dan mengangkat kedua belah pantatnya tinggi. Kukuakkan kedua labianya lebar-lebar ke kiri kanan dan lidahku terhunjam dengan gerakan buas memasuki vaginanya. Kukait-kait klitoris dan vaginanya sambil jari-jariku melakukan eksplorasi lebih lanjut mencari G-spotnya. Tak sulit lagi mencarinya karena pengalaman beberapa malam yang lalu. Aksiku menggumuli klitoris, G-spotnya, labia liang vaginanya kurasa belum cukup, sehingga jari tengah tangan kiriku kumasukkan ke analnya setelah kuolesi cairan vaginanya yang semakin membanjir. "Oooohhhh Gus... sayyyangggg!" teriaknya dengan mata terbelalak, tapi aku tahu ia tidak marah karena itu adalah ungkapan kenikmatan.

"Sabar Mbak sayang, bentar lagi kuantar ke gerbang kenikmatan... " ujarku sambil meneruskan aksiku.

"Aguuuusssss... sayangggkuuu... ooohhhh," jeritnya.

Dengan suatu geraman tinggi, ia menghentakkan pantatnya tinggi-tinggi dan begitu kurasakan bahwa ia akan orgasme kutekan wajahku dalam-dalam ke vaginanya sambil terus mengocok vagina dan analnya dengan jari-jariku. "Croott... crooot... crooot... " cairan hangat terasa membasahi wajahku dan sempat kutarik wajahku hingga kulihat betapa kuatnya semprotan cairan kenikmatannya bahkan kupikir melebihi semprotan penisku saat orgasme. Begitu ia rasakan kutarik wajahku dari vaginanya, kedua tangannya menekan belakang kepalaku kuat-kuat hingga kembali terbenam ke vaginanya yang merekah. Maka sibuklah aku menyedot dan menjilati cairan vaginanya hingga kurasa mulutku penuh dengan cairan gurih. Jariku di analnya masih merasanya denyutan-denyutan hebat, begitu pula jariku di vaginanya masih terjepit dan kurasakan remasan-remasan otot-otot vaginanya menjepit jariku.

"Ahhh... aku capek Gus... kita istirahat dulu ya sayang?" katanya sambil memelas.

Kuangkat tubuhnya ke atas dan kutempatkan diriku berbaring di sampingnya sambil saling berciuman meredakan gelora nikmat yang menguasai dirinya dan diriku. Kini kami berdua bagaikan dua bayi raksasa yang tergolek siap untuk saling berbagai kepuasan.

Jari-jari kami saling meremas dan kaki kami membelit satu sama lain. Tak berapa lama kulihat matanya terpejam. "Ah, biarlah ia tidur dulu, kasihan jika kupaksa untuk main tanpa jeda," pikirku. Aku pun memicingkan mata dan mencoba tidur sambil merenung mengapa kami bisa begitu binal.

Jelang tengah malam, aku terbangun karena Mbak Ina bangkit menuju kamar mandi. Kudengar suara air gemercik mengisi bathtub. Karena penasaran menunggunya tidak balik ke ranjang, aku bangun dan berjalan ke kamar mandi, kubuka pelan pintu yang tidak ia tutup. Kulihat Mbak Ina sedang berendam sambil menutup mata dalam bathtub yang sudah mulai berisi air. Melihat sebagian tubuhnya berendam demikian, birahiku kembali menggelegak, aku masuk ke dalam kamar mandi dan kudekati dia. "Oh kamu udah bangun, Gus? Mau mandi air hangat bareng denganku?" ajaknya. "Iya Mbak, biar fresh untuk sesi berikutnya," jawabku sambil masuk ke bathtub. "Uihhh, makin kelihatan kalau kamu sebetulnya mata keranjang," katanya sambil mencipratiku dengan air. Kami mandi berdua, saling meremas, saling menggosok dan menyabuni satu sama lain. Usai mengeringkan badan, dengan bertelanjang kami berdua kembali ke ranjang. Kami duduk bersisian dengan saling peluk dan cium sambil menonton film dewasa yang belum juga usai. Kami sama-sama melihat sepasang pria dan wanita yang telanjang dalam posisi sedang duduk berpelukan melakukan hubungan badan. Tidak terlihat penis si pria masuk keluar kemaluan si wanita, tetapi gerakan-gerakan tubuh mereka di mana si wanita dalam pose menduduki kemaluan si wanita mengesankan bahwa mereka sedang mendaki puncak kenikmatan. Tiba-tiba si pria mengangkat si wanita, sambil berdiri di lantai, si pria menggendong si wanita dengan menahan kedua pantatnya sedang kedua paha si wanita memeluk erat-erat pinggang si pria. Posisi ini yang disebut sebagai monyet menggendong anaknya. Kuperhatikan dengan ekor mataku mata Mbak Ina memandangi adegan itu dengan tajam dan kurasakan jari-jarinya tidak lagi meremas tanganku tetapi berpindah ke pangkal pahaku dan mulai membelai penisku yang mulai bangkit kembali sejak kami mandi berdua. Elusan jari-jarinya membuat gairahku semakin naik kembali.

"Gus, enak banget kali gaya begitu ya?" desahnya di telingaku. "Udah pernah nyoba dengan istrimu?" tanyanya.

"Belum Mbak."

"Ehmmm, enak mungkin ya? Tapi gimana ya?" desahnya sambil melirik aku. "Tapi gimana ya? Aku justru maunya gini aja denganmu, penismu tidak sampai penetrasi ke vaginaku kayak gitu?"

"Nggak apa-apa Mbak, kita tetap main anal seperti biasanya, cuma dengan posisi begitu, bagaimana?" kataku menantang, sambil menarik tangannya turun dari ranjang.

Sambil tersenyum dengan wajah tak mengerti akan ajakanku, ia bertanya, "Ada apa sih Gus? Koq pake turun ranjang segala?"

Aku tidak menjawab, tapi kuatur tubuhnya berdiri sambil membungkuk, bertopang kedua tangannya ke kursi di depan TV, kemudian kutempatkan diriku persis di belakang tubuhnya dan mulai mengusap-usap lubang analnya. Kuambil ludahku dan kuoleskan di mulut analnya sambil tanganku yang lain merabai payudaranya di depan. Ia mulai mendesah geli campur nikmat, "Sssshhhh, ohhh... kau kuat banget sih Gus? Udah minta lagi?"

Kepala penisku mulai mengambil posisi tepat di mulut analnya dan dengan perlahan-lahan kudorong masuk ke analnya. "Sstt... eeekhhh... pe...lan Gus, jangan kuat-kuat, ehhh... shhh... " katanya sambil sebelah tangannya mencoba menahan laju pantatku agar tidak maju mundur dengan cepat.

"Tenang aja, Mbak. Aku takkan menyakitimu. Nikmati saja, sayang... " gumamku pelan sambil terus memaju-mundurkan pantatku hingga penisku masuk lebih dalam ke dalam analnya.

Nafsunya kembali naik seiring dengan gerakan penisku yang semakin intens ke dalam analnya dan kedua tanganku tidak tinggal diam, kadang-kadang meremas kedua belah pantatnya, juga bergantian menjangkau vagina dan klitorisnya serta payudaranya. Desahannya mulai berganti dengan rintihan yang semakin kuat. "Sshhhh... aakkkhhh... enakkkkhhh... Gus... Ahhhh sayang... terus... teruusssss... ooukhhhh... " geliat tubuhnya semakin menggairahkan apalagi sesekali kurapatkan tubuhku ke punggungnya dan menjilati kuduknya bahkan menggigit pelan-pelan. Bibir dan lidahku bermain juga di pundak, sela-sela ketiaknya dan turun ke lengan atasnya.

Saat rintihannya semakin kuat, penisku kuhentikan tepat menghunjam sedalam-dalamnya ke analnya dan kuhentikan gerakanku untuk melihat reaksinya.

"Oukhhh... ada apa Gus? Koq kamu diam sih? Sengaja mau menyiksaku ya? tanyanya.

Tanpa menjawab pertanyaannya, tiba-tiba kuletakkan kedua tanganku di bawah pahanya dan kutopang dengan kedua tanganku, lalu dengan kekuatan tanganku kunaik-turunkan pahanya, sehingga bunyi analnya menelan penisku semakin sedap kedengaran, "Slepp... sleepp... sslep... " Ia mengerang-erang kenikmatan. "Guuussss... " hanya itu suaranya. Kulihat kedua tangannya meremas-remas payudaranya menambah rasa nikmat yang ia terima akibat permainan penisku. "Ssshhh... ahhh... aku hampir dapat Gus!" rintihnya semakin kuat.

"Sabar Mbak, ntar bareng dengan aku," bujukku sambil merebahkannya terlentang di tempat tidur. Wajahnya nampak kesal karena tiba-tiba kucabut penisku dari analnya. "Ada apa lagi sih Gus? Koq dicabut, padahal aku hampir klimaks?" gerutunya sambil cemberut.

"Kita ganti posisi, biar Mbak lebih santai," kataku sambil berlutut di dekat pahanya dan mengangkat paha kanannya ke atas paha kiriku. Kuambil ludahku dan kuoleskan lagi di mulut analnya kemudian penisku kuarahkan kembali ke analnya masuk keluar.

"Ahhh... kau pinter banget bikin variasi. Shhh... ohhhgg... terusss Gus... aduh nikmatnya... " erangnya sambil menggeliat-geliatkan pantatnya.

Kuayunkan pantatku mendorong penis masuk keluar analnya. Dengan kaki kanannya di atas paha kiriku, ia berbaring agak miring sehingga dengan bebas tangan kananku dapat merabai klitoris dan vaginanya.

"Ssshhh... nikmattt Gus, te...rus... ohhh... lebih cepat lagi Gus?"

"Yang mana yang lebih cepat, Mbak? Tanganku di analmu atau yang di vegy-mu nich?" godaku sambil mempercepat ayunan pantatku.

"Semuanya enak Gus, aduh... kau suka banget sih bikin aku keqi?... shhh... akkkhh" rintihnya.

Jari-jari tangan kananku semakin cepat menggesek-gesek labianya dan ketika kuraba klitorisnya yang sudah begitu tegang, kubuat jepitan kecil dengan jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian kedua jari tersebut kumasukkan ke liang vaginanya sambil jempol kananku mengelus-elus klitorisnya.

"Auhhhh... enakkkhhhh... Guuussss... " rintihannya makin meninggi. "Akkkhuu hampir keluarrr... oookhhhh... "

"Sekalian denganku Mbak, ssshhhh... akkkhhh... aku juga udah mau keluar... Bareng Mbak... aaakkhhh... " desahku sambil mempercepat genjotan penisku pada analnya dan jari-jari tangan kanan pada kemaluannya sedangkan tangan kiri meremas-remas payudara dengan putingnya yang amat tegang.

Dengan suatu hentakan kuhempaskan dalam-dalam penis ke dalam analnya, paha kanannya melilit erat pinggangku, kurasakan denyutan luar biasa pada analnya juga liang vaginanya yang mpot-mpotan meremas-remas jari telunjuk dan tengah tangan kananku. Pantatnya dengan kuat menggelinjang-gelinjang hingga membuat penisku semakin erat dikulum oleh liang analnya. "Ggguuuuuussss! rintihannya berubah menjadi teriakan yang kuat di ruang kamar itu. "Mbaaakkk sayangggg... " sambutku sambil terus menggoyang-goyangkan pantat menikmati orgasme yang bersamaan tiba. Kurasakan penisku menyemprotkan air mani kuat-kuat ke dalam analnya. Setelah beberapa saat, kutarik penisku dan kulihat cairan putih bening menetes turun ke pahanya.

Kami berdua berbaring miring sambil berpelukan dan berciuman. Bibirku dikulumnya dengan sangat erat, bahkan sempat digigitnya lidahku saking gemasnya. Setelah orgasme kami berdua mereda, kami berbaring sambil bergenggaman tangan dan tertidur dalam keadaan telanjang. "Kita tidur dulu ya sayang, besok masih bisa kita lanjutkan. Masih ada waktu sehari penuh buat kita," katanya sambil memicingkan mata.

"Iya Mbak, yuk tidur sayang! Met malam ya!" ujarku sambil mencium bibirnya.

Keesokan harinya masih kami isi dengan berbagai gaya permainan ranjang meskipun tetap tanpa melakukan penetrasi ke dalam vaginanya. Tenaga kami benar-benar terkuras, karena ingat di Jakarta tak mungkin kami berbuat demikian.

Itulah pengalamanku dengan Mbak Ina yang cantik dan penuh gairah. Hingga kini kami berdua masih tetap tidur bersama jika kebetulan bertugas keluar kota atau keluar negeri hanya berdua, paling tidak 4-8 kali kami memperoleh tugas luar semacam itu. Uniknya, hingga kini kami hanya bermain anal, tetapi kenikmatan yang kami rasakan tak ubahnya seperti permainan seks biasa. Lucunya lagi, akibat permainanku, Mbak Ina mulai coba-coba minta suaminya pun main di analnya, tetapi ia mengakui style-ku selalu lebih hot daripada suaminya. Rahasia kami berdua tetap tersimpan erat dan tidak pernah ada orang di perusahaan yang tahu hubungan kami, karena di kantor kami tetap berbuat sebagaimana wajarnya karyawan biasa. Orang hanya tahu ia sebagai atasanku dan aku sebagai asistennya selalu berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan pimpinan. Mereka tidak pernah tahu, bahwa keberhasilan itu juga sangat didukung oleh hubungan mesra di antara kami.